HERALD.ID, JAKARTA — Menilik kisah hidup KH Muhammad Thahir atau yang lebih kenal dengan Imam Lapeo memang tak pernah ada habisnya. Sebab beliau adalah ulama besar yang tak hanya dihormati, tapi juga melegenda bagi masyarakat di Sulawesi Barat.
Ulama yang hidup antara 1838-1952 tersebut tak sekadar mampu melanjutkan perjuangan para pendahulunya menyebarkan ajaran Islam di seantero Sulbar. Dia juga dikenal “sakti” karena memiliki sejumlah kelebihan yang diyakini masyarakat sampai sekarang.
Setidaknya itu dituliskan oleh Syarifuddin Muhsin dalam Perjalanan Hidup Imam Lapeo. Menurutnya terdapat 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo. Sebagian di antaranya, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, serta mengatasi doti (ilmu hitam).
Kendati demikian, tak banyak literatur yang mengisahkan secara mendalam keikutsertaan Imam Lapeo dalam memerangi kolonialisme Belanda dan Jepang di Tanah Mandar, kendati beliau tak diragukan memiliki peran besar dalam peristiwa tersebut.
Di bulan Ramadan ini, Sulbarkita.com ingin sedikit berbagi kisah tentang perjuangan tokoh Islam Imam Lapeo dalam merintis kemerdekaan.
Muhammad Yusuf Naim dalam Ajaran Imam Lapeo (2008: 42-43) menyebutkan Imam Lapeo adalah salah satu inspirasi lahirnya organisasi gerakan masyarakat bernama Kebaktian Rahasia Islam (KRIS) Muda. Organisasi inilah yang menjadi wadah perjuangan sebagian besar tokoh di Sulbar prakemerdekaan.
Dalam KRIS Muda, Imam Lapeo berada pada posisi unsur ulama, unsur lain di luar unsur kepemudaan yang diisi sejumlah tokoh seperti RA. Daud, AR. Tamma, Yahyaddin Puang Lembang, serta unsur bangsawan/Raja yang ditempati oleh Andi Depu. Sehingga sejatinya, perjuangan Imam Lapeo bisa disejajarkan dengan Andi Depu, peraih predikat Pahlawan Nasional asal Sulbar pada 2018.
Sayangnya tak banyak yang menulis sepak terjang Imam Lapeo di KRIS Muda. Laily Mansur dalam Ajaran dan Teladan Para Sufi (2002:205) hanya menyebutkan bahwa posisi Imam Lapeo sebagai ulama di KRIS Muda tersebut membuatnya memiliki visi-misi yang sejajar dengan Syekh Syadziliyah, salah satu ulama besar Islam, yang menghadapi imperialisme serta pertempuran Manshurah (perang melawan tentara salib sekitar 1250 Masehi).

Visi-misi Syadziliyah tergambar dalam Syekh Abu Al-Hasan Al Syadziliyah, Kisah Hidup Sang Wali dan Pesan-Pesan yang Menghidupkan Hati (2014:33) karya Makmun Gharib. Disebutkan Syekh Syadziliyah adalah seorang mujahid sejati yang rela turun ke jalan menyamangati penduduk agar bergabung dengan pasukan muslim di medan perang melawan pasukan salib yang dipimpin Louis IX.
Syadziliyah tak mau menjadikan ritual ibadah dan zikir sebagai dalih menghindari perang. Ia memilih berada pada barisan paling depan melawan pasukan Salib yang terkenal cukup kuat di masa tersebut.
Silahkan kirim ke email: redaksi@herald.id.