HERALD.ID, MAKASSAR — Belum ada regulasi tegas soal Pak Ogah. Baik perda, maupun dalam fatwa MUI. Namun Sekretaris MUI Sulsel Muammar Bakry mengatakan tidak menutup kemungkinan MUI Sulsel akan mengeluarkan fatwa mengenai penertiban Pak Ogah tersebut.
“Kalau masyarakat meminta, tentu akan dibahas. Mekanisme pengambilan fatwanya itu menyesuaikan dengan urgensinya di tengah masyarakat. Hanya saja belum bisa dipastikan kategorisasinya sama dengan anjal gepeng,” bebernya.
Hal serupa disampaikan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sulsel Wahid Haddade. Secara kajian lapangan, MUI belum bisa mengambil kesimpulan dalam menyusun fatwa Pak Ogah.
Meski sekilas, profesi Pak Ogah hampir sama dengan anjal gepeng. Karena menggantungkan hidupnya di jalanan. “Mungkin bisa diagendakan. Duduk bersama dengan stakeholder terkait, agar bisa dirumuskan fatwanya,” urainya.
Sejauh ini, yang diatur dalam Perda Makassar No. 2/2008, hanya anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng), serta pengamen.
Demikian pula dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel No.1/2021, hanya mengharamkan pemberi, pengemis, dan pengeksploitasi pengemis di jalan. Terutama pengemis yang berbadan sehat, tak boleh mengemis.
Khusus Pak Ogah, belum termaktub dalam dua landasan hukum tersebut. Hanya saja, DPRD dan Dinas Sosial (Dissos) Kota Makassar menganggap, Pak Ogah berpotensi masuk dalam kategori haram untuk diberi uang.
Ketua Komisi D DPRD Sulsel Abdul Wahab Tahir menuturkan dewan dan dissos berencana mengkaji secara mendalam status Pak Ogah. Ia melihat Pak Ogah bisa dimasukkan dalam fatwa haram untuk diberi uang.
Alasannya, aktivitas yang dilakukan masuk ketegori mengganggu aktivitas orang lain. Menimbulkan gangguan lalu lintas dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi sebagian pengguna kendaraan.
“Saya melihat bahwa fatwa ini salah satu dasarnya adalah gangguan yang ditimbulkan. Ada yang merasa terganggu sehingga itu menjadi haram,” ujar Wahab, pekan lalu.
Silahkan kirim ke email: [email protected].