Herald Indonesia, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan pemeriksaan kepada Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.

Pemeriksaan terhadap Boyamin sebagai saksi kasus dugaan pencucian uang Bupati nonaktif Banjarnegara Budhi Sarwono bakal digelar di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (17/5/2022).

“Jadwalku pemeriksaan KPK besok Selasa, tanggal 17 Mei 2022, jam 10.00 WIB,” kata Boyamin dalam keterangannya, Minggu (15/5/2022).

Boyamin mengatakan, hingga saat ini dia belum menerima surat panggilan dari KPK terkait jadwal pemeriksaan tersebut.

Namun, dia mengakui telah mencari tahu informasi untuk menyelesaikan pemberian keterangan kepada penyidik terkait kasus dugaan pencucian uang yang menjerat Bupati nonaktif Banjarnegara Budhi Sarwono.

“Harus aktif tanya-tanya dan cari informasi karena apapun aku ingin jadi warga negara yang baik untuk patuh hukum,” ujar Boyamin.

Sebelumnya, KPK membeberkan alasan baru memanggil Boyamin Saiman dalam dugaan pencucian uang Budhi Sarwono. Nama Boyamin disebut dalam persidangan kasus dugaan suap yang menjerat Budhi.

“Ini (Boyamin) memang munculnya kenapa belakangan, memang dari fakta persidangan ternyata muncul nama ini sebagai salah satu pejabat di PT (Bumi Redjo) itu,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto di Jakarta, Rabu (27/4/2022).

Karyoto mengatakan nama Boyamin langsung dicatat jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan. Setelah itu, jaksa melaporkan ke divisi penindakan KPK untuk ditindaklanjuti.

Sebelumnya, Boyamin Saiman mengakui pernah menerima fasilitas kantor dari kakak Bupati nonaktif Banjarnegara Budhi Sarwono bernama Budi Yuwono.

Pengakuan itu disampaikan Boyamin usai diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan TPPU Bupati nonaktif Banjarnegara Budhi Sarwono.

“Tahun 2014 itu saya diberi kantor di Kuningan oleh kakaknya (Budhi Sarwono) namanya Budi Yuwono, habis itu saya bisa beli rumah sendiri di Kemanggisan, saya pindah ke Kemanggisan,” kata Boyamin usai diperiksa tim penyidik KPK sebagai saksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (26/4/2022).

Ia pun mengaku pernah menjabat sebagai Direktur PT Bumi Rejo milik keluarga Bupati nonaktif Banjarnegara, Budhi Sarwono yang terjerat kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh KPK.

Ia mengungkapkan, dirinya masuk jajaran direksi PT Bumi Rejo pada 2018. Sebelumnya pada 2014, kata dia, PT Bumi Rejo mengalami kredit macet pada sejumlah bank di antaranya Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah alias Bank Jateng dan Bank Mandiri.

Atas hal itu, ayah Budhi Sarwono, Sugeng Budhiarto, menurut Boyamin, kemudian mengambil alih kepemilikan PT Bumi Rejo.

Ia mengakui, tugasnya selama menjabat sebagai Direktur PT Bumi Rejo selaku lawyer untuk mengurus utang dan piutang perusahaan.

“Tahun kemarin terakhir 2021 bisa nagih piutang PUPR Rp25 miliar dan langsung dibayarkan ke BPD Jateng karena dia di sana punya pinjaman Rp40 miliar. Sementara yang di Bank Mandiri ada dua, Rp7 milar sama Rp10 miliar, dan itu masih macet sampe sekarang,” tukasnya.

Dirinya pun membantah pernah menerima aliran dana pencucian uang Budhi Sarwono. Ia mengaku hanya menerima Rp5 juta per bulan sebagai honor pengacara.

“Selama menjadi kuasa hukum saya mendapatkan honor per bulan Rp5 juta, dan posisi saya sebagai direktur itu sebagai kuasa hukum itu hanya untuk memudahkan dengan Bank Mandiri,” jelasnya.

Seperti diberitakan, KPK mengembangkan kasus dugaan suap pemborongan, pengadaan, atau persewaan pada Dinas PUPR pada 2017 sampai 2018 dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemkab Banjarnegara.

Pengembangan dilakukan dengan menetapkan kembali Bupati nonaktif Banjarnegara Budhi Sarwono sebagai tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

KPK menduga Budhi berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang bersumber dari tindak pidana korupsi, di antaranya dengan dibelanjakan dalam bentuk berbagai aset baik bergerak maupun tidak bergerak.

KPK sebelumnya juga telah mengumumkan Budhi dan orang kepercayaannya, Kedy Afandi (KA), selaku tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek di Pemkab Banjarnegara.

Dalam konstruksi perkara, KPK menyebut pada September 2017, Budhi memerintahkan Kedy memimpin rapat koordinasi (rakor) yang dihadiri oleh para perwakilan asosiasi jasa konstruksi di Kabupaten Banjarnegara.

Dalam pertemuan tersebut, disampaikan sebagaimana perintah dan arahan Budhi, Kedy menyampaikan bahwa paket proyek pekerjaan akan dilonggarkan dengan menaikkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai 20 persen dari nilai proyek dan untuk perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan paket proyek dimaksud diwajibkan memberikan komitmen fee sebesar 10 persen dari nilai proyek.

Pertemuan lanjutan kembali dilaksanakan di rumah pribadi Budhi yang dihadiri oleh beberapa perwakilan Asosiasi Gapensi Banjarnegara dan secara langsung Budhi menyampaikan diantaranya menaikkan HPS senilai 20 persen dari harga saat itu. Dengan pembagian lanjutannya adalah senilai 10 persen untuk Budhi sebagai komitmen fee dan 10 persen sebagai keuntungan rekanan.

Selain itu, Budhi juga berperan aktif dengan ikut langsung dalam pelaksanaan pelelangan pekerjaan infrastruktur di antaranya membagi paket pekerjaan di Dinas PUPR Kabupaten Banjarnegara, mengikutsertakan perusahaan milik keluarganya, dan mengatur pemenang lelang.

Kedy juga selalu dipantau serta diarahkan oleh Budhi saat melakukan pengaturan pembagian paket pekerjaan yang nantinya akan dikerjakan oleh perusahaan milik Budhi yang tergabung dalam grup Bumi Rejo.

Penerimaan komitmen fee senilai 10 persen oleh Budhi dilakukan secara langsung maupun melalui perantaraan Kedy.

KPK menduga Budhi telah menerima komitmen fee atas berbagai pekerjaan proyek infrastruktur di Kabupaten Banjarnegara sekitar Rp2,1 miliar.