Pemilu sejak 2004 hingga 2019 mengalami perbaikan guna menampung aspirasi masyarakat. Perbaikan itu terlihat dari sistem Pemilu yang diterapkan pada Pemilu 2004 sampai 2019.
Hal itu ditetapkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008.
Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2009 buat memilih calon anggota legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Dengan penerapan sistem proporsional terbuka, pemilih diberikan kewenangan memilih caleg yang dikehendaki sesuai daftar caleg yang ada di masing-masing partai politik peserta Pemilu.
Pada Pemilu 2009, penentuan kursi di legislatif berdasarkan suara terbanyak. Ketika suatu partai politik peserta Pemilu mendapatkan kursi di suatu daerah pemilihan (dapil) maka yang memperolehnya adalah caleg dengan perolehan suara terbanyak.
Dengan menerapkan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu, maka wilayah negara dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan. Nantinya Dapil itu akan disesuaikan untuk pemilihan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
“Sebagian orang menggangap pemilih tertutup dianggap warisan politik otoriter, sebenarnya itu tidak ada. Kita belajar tentang demokrasi, pemilu itu tidak ada mencerimkan otoriter. Tetapi, tergantung dengan penggunaan dan implementasinya saja,” kata Andi Ali Armunanto.
Dirinya menilai, sekarang ini memang ada upaya-upaya mengembalikan untuk menguatkan partai serta mengembalikan peran partai dengan cara pemilih tertutup. Agar partai besar menjadikan modal dan menguntungkan dengan cara pemilu tertutup.
Andi Ali mengkwatirkan pemilu tertutup ini akan berdampak resistensi publik di masyarakat. Menurutnya, publik selama ini tidak terlalu paham akan demokrasi. Mereka tahunya bahwa demokrasi itu pemilu terbuka, sistem demokrasi tertutup adalah otoriter. “Pada dasarnya semuanya adalah demokrasi,” akunya.
Silahkan kirim ke email: redaksi@herald.id.