HERALD.ID, JAKARTA—Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat begitu banyak kecaman.
Paling baru, keputusan MK menerima gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadapi DPR dan Presiden.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai, pimpinan MK melampaui kewenangannya. Alasannya, objek putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, di mana kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
“Itu kan agak dalam tanda kutip penghinaan terhadap DPR dan presiden. Kan pembentuk undang-undang itu DPR dan presiden,” ujar Arsul di ruangannya, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/5/2023) dikutip dari Republika.co.id.
Petinggi PPP itu juga menilai ada inkonsistensi dari MK usai memutuskan untuk menjadikan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. Itu karena sebelumnya, juga ada gugatan terhadap Pasal 87 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Di pasal tersebut mengatur, seorang hakim MK bisa menjabat sampai dengan 15 tahun sepanjang usianya tidak melebihi 70 tahun.
Namun, MK menolak semua gugatan terhadap pasal tersebut. Di mana dalam pertimbangannya, MK tak menyinggung soal ketidakadilan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya.
“Nah tiba-tiba di sini di dalam pertimbangan putusan itu, bicara soal keadilan, soal keadilan terkait masa jabatan. Empat tahun itu dianggap, satu, bertentangan dengan prinsip keadilan, dibandingkan dengan lembaga negara lain yang constitutional important,” ujar Arsul.
Ini kata Arsul menimbulkan banyak pertanyaan. “Tapi, ketika bicara tentang dirinya sendiri, MK mengatakan itu tidak masalah. Sehingga uji materinya ditolak, nah ini menimbulkan pertanyaan, apakah sebagian hakim kita masih negarawan atau sudah sama seperti politisi kami yang ada di DPR ini, bisa berubah-ubah,” jelasnya.
Arsul pun mempertanyakan, apakah keputusan tersebut dikarenakan adanya kepentingan politik atau kelompok tertentu. Sebab, MK tak pernah menyinggung ihwal keadilan tersebut di gugatan-gugatan lain yang serupa.“Karena ada kepentingan politik, ada kepentingan katakanlah kelompok, ada kepentingan pribadi ya, maka putusannya kemudian standarnya berbeda. Ini yang menjadi concern, kenapa menjadi concern? karena MK itu berbeda dengan lembaga negara yang lain,” tegas Wakil Ketua MPR itu. (*)
Silahkan kirim ke email: [email protected].