HERALD.ID– Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, sudah sepantasnya pemerintah tidak memperpanjang kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk (INCO) untuk beralih menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Bhima menegaskan, alih-alih diperpanjang, sebaiknya konsesi lahan tambang milik PT Vale Indonesia dikembalikan ke negara.
“Sebaiknya pasca kontrak berakhir, dikembalikan ke negara saja, dibanding divestasi dengan saham negara yang kecil,” ujar Bhima.
Sekadar diketahui, Kontrak Karya (KK) PT Vale Indonesia akan berakhir pada 28 Desember 2025 mendatang.
Di samping itu, menurutnya dengan konsesi lahan tambang yang selama ini dikuasai Vale, negara melalui BUMN bisa melakukan operasional tanpa tantangan yang berarti. Dengan demikian, bagi hasil ke negara akan jauh lebih besar kalau dikelola sendiri.
“Kalau diperpanjang kontraknya khawatir rantai bahan baku nikel untuk kebutuhan industri baterai di dalam negeri sulit dipenuhi,” ungkapnya.
Melansir CNBC Indonesia, sudah sekitar satu dekade lamanya Vale berkutat dengan rencana pembangunan smelter nikel baru. Bahkan, setidaknya tiga proyek smelter baru dengan perkiraan nilai investasi sekitar Rp140 triliun yang digadang-gadang akan dibangun. Namun sayangnya, hingga kini belum satu pun dari tiga proyek tersebut beroperasi.
Tiga proyek tersebut di antaranya proyek Sorowako senilai USD2 miliar, proyek Bahodopi senilai USD2,5 miliar, dan proyek Pomalaa senilai USD4,5 miliar.
Pasca Perjanjian Perubahan dan Perpanjangan yang ditandatangani pada Januari 1996 silam, pada Oktober 2014 lalu PT Vale dan Pemerintah Indonesia sepakat, setelah renegosiasi KK dan ada beberapa ketentuan yang berubah, termasuk area tambang berubah menjadi 118.435 hektare.
Kontrak Karya pertama Vale sebenarnya telah ditandatangani sejak 1968 lalu. Artinya, sudah lebih dari 50 tahun Vale menambang nikel di Indonesia.
Silahkan kirim ke email: redaksi@herald.id.