HERALD.ID, JAKARTA—Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat dan batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah, baik di level gubernur, bupati, maupun wali kota kini jadi masalah.
MK menegaskan putusan itu berlaku untuk Pilpres 2024. Namun, pihak DPR menegaskan itu akan menjadi malapetaka jika dipaksakan untuk diadopsi. Masalahnya, tidak ada lagi waktu untuk membahas itu di Senayan.
Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menegaskan bahwa diperlukannya pembahasan lebih lanjut mengenai Putusan MK untuk dikonsultasikan di DPR. Jika tidak dikonsultasikan, ia khawatir jika KPU tetap memaksakan malah akan menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
“Sudah banyak para pakar yang menyatakan bahwa kalau tanpa melalui prosedur konsultasi dianggap cacat prosedur. Ini tentu akan menimbulkan malapetaka kalau seandainya KPU memaksakan keputusan MK langsung diadopsi menjadi PKPU tanpa melakukan konsultasi ke DPR,” kata Guspardi dikutip dari dpr.go.id, Jumat (20/10/2023).
Politisi Fraksi PAN ini kemudian menyatakan bahwa yang menjadi persoalan saat ini adalah DPR sedang mengalami masa reses. Sehingga prosedur konsultasi yang seharusnya dilakukan menjadi terhambat.
Menurutnya, sebenarnya RDPU boleh saja dilakukan jika mendapat persetujuan dari Pimpinan DPR RI.
“Pelaksanaan reses sudah dimulai sejak tanggal 4 Oktober sampai dengan 30 Oktober. Aturan mengatakan bahwa selama masa reses DPR tidak boleh melakukan Rapat Dengar Pendapat, rapat kerja, ataupun RDPU dengan masyarakat umum. Boleh dilakukan RDPU, rapat kerja manakala mendapatkan izin dari pimpinan DPR. Itu mekanisme,” jelas Guspardi.
Makanya, MK sebagai lembaga yudikatif tidak bisa membuat keputusan mengenai perubahan Undang-Undang Pemilu termasuk juga PKPU. Sebab, jelasnya, pembuat undang-undang merupakan ranah dari DPR bersama pemerintah sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
“Perppu-nya juga harus mendapatkan pengesahan dari DPR, tidak perlu dibahas kalau Perppu yang dilakukan oleh pemerintah. Apakah DPR setuju atau tidak dan tidak perlu ada pembahasan terhadap hal-hal yang berkaitan terhadap pasal demi pasal, ayat demi pasal. Hanya mengatakan bahwa setuju atau tidak setuju,” tutupnya. (ilo)