HERALD.ID, JAKARTA—Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono mempertanyakan kebijakan pemerintah yang terus menurunkan anggaran pupuk subsidi, di tengah kelangkaan pupuk di petani.

“Musim hujan sudah datang, petani sudah mulai melakukan persiapan penanaman. Namun banyak keluhan petani terkait ketersediaan pupuk subsidi yang sulit didapat,” ujar Ono dalam Kunjungan kerja spesifik Komisi IV DPR RI ke Pabrik Pupuk Kujang, Cikampek, Jawa Barat, Kamis (30/11).

Bahkan, saat ini, pemerintah hanya menganggarkan subsidi pupuk sebesar 7,8 juta ton, atau sepertiga dari usulan seluruh kebutuhan pupuk di Kabupaten/Kota di Indonesia.

“Di tengah kondisi tersebut, pemerintah dari tahun ke tahun malah terus menurunkan anggaran pupuk subsidi. Saat ini sekitar 7,8 juta ton atau sepertiga dari seluruh usulan kebutuhan pupuk dari Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Alhasil petani semakin sulit mendapatkan pupuk urea,” ujarnya.

Ono mengatakan, Menteri Pertanian membuat pernyataan bahwa petani yang ingin menebus pupuk subsidi cukup dengan memperlihatkan KTP (kartu tanda penduduk).

Ini sangat ironi, karena ketersediaan pupuk subsidi di kios yang belum tentu ada. Hal ini tentu akan menimbulkan pertanyaan dan gejolak di masyarakat dan petani, di mana ia kerap mendapat laporan dari petani terkait masalah pupuk.

Politisi dari Fraksi PDI-Perjuangan ini menegaskan, sejatinya pupuk subsidi itu tujuan utamanya untuk mengurangi cost dari petani. Masih banyak petani yang belum sejahtera, karena produksinya itu tidak sepadan dengan nilai jual produk pertanian yang dihasilkan.

 “Jika tujuannya meningkatkan kesejahteraan petani, selain meningkatkan produksi, tapi kenapa jumlah subsidi yang terus dikurangi. Sehingga, pertanyaannya, apakah ini memang niat yang benar-benar tulus dari pemerintah untuk bisa meningkatkan kesejahteraan petani dan juga meningkatkan produksi, atau tidak,” tegasnya dikutip dari dpr.go.id.

Ono berharap pemerintah harus terus melakukan perbaikan data. Agar penganggaran untuk subsidi pupuk di tahun berikutnya bisa meningkat. Misalnya dengan data berbasis desa, bukan hanya survei yang dilakukan oleh BPS tapi benar-benar data riil di masyarakat.

 Kedua, kata dia, harus dihitung kembali, untuk satu hektar lahan, berapa pupuk urea yang dibutuhkan, berapa NPK phonska yang dibutuhkan.

“Karena hitungan itu pun sudah berbeda antara Kementerian Pertanian dengan petani. Misalnya untuk total pupuk subsidi yang diberikan, mungkin hanya sekitar 4,5 kuintal, sedangkan petani di lapangan itu butuh sampai ada yang 6 kuintal, bahkan ada yang 7 kuintal. Itu harus benar-benar dihitung kembali,” tambah Politisi asal dapil Jawa Barat VIII ini.

Terkait dengan pola distribusi juga harus kembali ditinjau. Ia mempertanyakan apakah memang jumlah kios (distributor) ini sudah sesuai dengan pola distribusi yang ujungnya mempercepat dan memastikan harga pupuk sesuai yang ditentukan oleh pemerintah, dan tidak terjadi mafia pupuk di lapangan.

“Tentu ini harus dilakukan langkah cepat, jangan lama-lama. Kementerian pertanian harus membuat solusi, langkah-langkah yang harus diambil,” tandasnya. (ilo)