Oleh: Anshar Aminullah (Kandidat Doktor Sosiologi UI/Akademisi UIT)
HERALD.ID – Percaya atau tidak, Amat sedikit bangsa di muka bumi ini bisa sehebat bangsa kita. Entah itu dalam hal kualitas Sumber Daya Manusia, karakter individu ataupun kemampuan leadershipnya.
Tokoh-tokoh bangsa kita ini mampu memahami banyak hal. Seandainya di muka bumi ini sedang butuh presiden dan wakil presiden, menteri, politikus, aktivis, wartawan, ustaz, budayawan, ekonom, pemerhati sosial, pemerhati budaya, bankir beserta komisaris dan direkturnya, Indonesia memilikinya stok melimpah yang mampu mengisi posisi di atas.
Hampir di semua bidang kita potensial untuk mengungguli bangsa lain. Kecuali ketika hal itu sudah dikondisikan oleh wasit utama dan wasit VAR, bisa dipastikan kita akan keok lebih awal seperti yang mendera timnas U23 kita beberapa waktu lalu.
Dan hanya peristiwa kekalahan Timnas U23 kita ini yang mampu menyatukan semua profesi dan jabatan di atas, itulah uniknya bangsa kita ini. Dua hari terakhir ini memang tema sepakbola dan wasit masih hangat untuk diperbincangkan, dan pada akhirnya tema pilpres 2024 pun mereda.
Di sela hari yang cukup menyerap emosi tersebut, tepat di tanggal 2 Mei ini, hari pendidikan nasional hadir dengan temanya yang masih seputar pada salah satu program andalan bapak menteri Pendidikan kita, Merdeka Belajar. Tema yang dalam kalimat lengkapnya “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”. Sebuah ajakan yang penuh optimisme khususnya bagi para tenaga pengajar di seluruh penjuru negeri.
Ironi Honorer
Dalam pendekatan sosiologis, sekolah sebagai contoh regionalisasi ruang-waktu dan lokasi tertentu, karena sekolah menekankan jenis rutinitas sosial tertentu. Sebagai institusi yang terpisah dari waktu dan interaksi sehari-hari, sekolah sebagai bentuk organisasi sosial mendistribusikan pertemuan melintasi ruang dan waktu, melakukan regionalisasi secara internal, dan memiliki konteks khusus untuk wilayah tersebut.