HERALD.ID, JAKARTA–Dikabulkannya praperadilan Pegi Setiawan atas penetapan tersangka oleh Polda Jawa Barat dalam kasus Vina Cirebon dan Eky belum menuntaskan masalah dari perkara tersebut.

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyebut sejumlah permasalahan yang perlu dituntaskan usai putusan Pengadilan Negeri Bandung terhadap gugatan Pegi Setiawan, yakni saksi Aep dianggap memberikan keterangan palsu harus diproses secara hukum.

“Keterangannya, sebagaimana perspektif saya selama ini, adalah barang yang paling merusak pengungkapan fakta. Persoalannya, keterangan palsu (false confession) Aep itu datang dari mana? Dari dirinya sendiri ataukah dari pengaruh eksternal? Jika dari pihak eksternal, siapakah pihak itu?” ujar Reza dalam keterangannya di Jakarta, Senin (8/7/2024).

Selanjutnya, patahnya narasi Polda Jabar bahwa Pegi adalah sosok yang mengotaki pembunuhan berencana, berimplikasi serius terhadap nasib kedelapan terpidana.

“Bagaimana otoritas penegakan hukum dapat mempertahankan tesis bahwa kedelapan terpidana itu adalah kaki tangan Pegi? Benarkah mereka pelaku pembunuhan berencana, ketika interaksi masing-masing terpidana (selaku eksekutor) dengan Pegi (selaku mastermind) ternyata tidak pernah ada?” tegas Reza dikutip dari Inilah.com.

Reza juga menyinggung terkait kerja scientific Polda Jabar yang selama ini dibahas sebatas terkait DNA, CCTV, dan otopsi mayat.

Ia terus mendorong eksaminasi terhadap scientific investigation Polda Jabar pada 2016.

“Saya mencatat ada satu hal yang belum pernah diangkat. Yakni, bukti elektronik berupa detil komunikasi antarpihak pada malam ditemukannya tubuh Vina dan Eky di jembatan pada 2016,” katanya.

Menurut Reza, ini juga termasuk komunikasi via gawai yang masing-masing korban lakukan dengan pihak-pihak yang dikenalnya.

“Siapa, dengan siapa, tentang apa, jam berapa. Itulah empat hal yang semestinya secara rinci diperlihatkan sebagai alat bukti. Sekali lagi, siapa menghubungi siapa terkait apa pada jam berapa,” ujarnya.

Firasat Reza, Polda Jabar memiliki data yang diekstrak dari gawai para pihak tersebut. Dan, juga, data itu sangat potensial mengubah 180 derajat nasib seluruh terpidana kasus Vina Cirebon.

Terakhir, Reza mengingatkan, korban salah tangkap mendapat ganti rugi. Demikian praktik di banyak negara.

“Ketimbang melalui mekanisme hukum yang bersifat memaksa bahkan mempermalukan, institusi kepolisian biasanya memilih penyelesaian secara kekeluargaan guna memberikan kompensasi itu,” ujar Reza, (ilo)