HERALD.ID — Politisi PDIP Ganjar Pranowo menyebut praktik menghalalkan segala cara agar ambisi terwujud atau dalam istilah politiknya disebut Machiavellian sering dirasakannya terjadi di sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.

Pernyataan itu disampaikan politisi PDIP Ganjar di hadapan ribuan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) saat pelepasan wisuda di Gedung Graha Saba, Kamis, 29 Agustus 2024.

“Ajaran politik Machiavellian adalah menciptakan rasa takut untuk mengendalikan rakyat dan musuh. Kekerasan merupakan cara efektif untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan,” katanya.

Ketua Kagama UGM itu menyebut pemerintah semena-mena memanfaatkan aparat penegak hukum sebagai alat kekerasan negara. Mengingat posisinya sebagai penjaga ketertiban, keamanan, membuat aparat penegak hukum dimaksimalkan untuk menciptakan rasa takut itu.

“Dengan dalih menjaga ketertiban dan menegakkan hukum, aparat bisa menundukkan siapa saja. Dulu pas orde baru, orang ditakuti dengan dituduh subversi atau PKI. Kalau sekarang (menakutinya) dengan kasus,” tegasnya.

Menurutnya, salah satu yang paling fenomenal yang diterapkan dalam politik Machiavellian oleh penguasa saat ini adalah penerapan politik sandra atau soft violence.

“Kalau ada elit yang tidak patuh, mereka diancam dikasuskan, ditersangkakan bahkan dipidanakan,” ujarnya.

Hal ini juga terjadi di kelompok pengusaha. Mereka yang tidak patuh pada keinginan penguasa, diancam akan dicabut izinnya bahkan tidak mendapat proyek atau dikriminalisasi. Begitu juga mereka yang berada di kalangan kepala desa ikut dibungkam dengan ancaman dikasuskan.

Selain itu, Ganjar juga menyebut penguasa seringkali menggunakan buzzer atau pendengung untuk memproduksi dan menyebarkan konten puja-puji atau sebaliknya dengan menyerang pengkritik lawan politik.

“Kaum profesional, buruh, aktivis dan mahasiswa juga diancam. Mereka dikriminalisasi, didokzing buzzer, dimanipulasi isu oleh leader opinion dan lainnya,” ucapnya.

Selain itu, terhadap masyarakat kecil, mereka dijadikan objek politik dan dianggap sebagai komoditas suara yang bernilai tinggi saat kontestasi elektoral. Cara ini menurut Ganjar dilakukan dengan rasionalisasi politik uang.

“Jual beli suara jelang pemilihan masif dilakukan. Mereka (penguasa) mengguyur masyarakat dengan bantuan sosial (bansos) dengan narasi kebaikan penguasa, bukan kewajiban negara,” ujarnya.

Karena itu, Ganjar kembali mengingatkan pentingnya kontrol sosial untuk mengatasi problem ini. Termasuk dirinya menekankan kepada jajaran akademisi harus bersuara keras mendampingi masyarakat sipil dan mahasiswa untuk terus mengawal perjalanan demokrasi di Indonesia.

Penulis : Olivia Rianjani