HERALD.ID — Dalam rangka Dies Natalis ke-68, Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar seminar internasional bertema “Prinsip dan Karakter Bugis-Makassar: 4 Ethos, 4 Jusuf,”.
Acara ini bukan hanya sekadar diskusi akademis, tetapi juga sebuah perjalanan batin menelusuri jejak nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh empat tokoh besar bernama Jusuf.
Pada Senin, 2 September 2024, aula Unhas Hotel & Convention, para narasumber yang berasal dari berbagai negara, mengulas kisah-kisah inspiratif tentang Syeikh Jusuf Al-Makassary, Jenderal M. Jusuf, Baharuddin Jusuf Habibie, dan M. Jusuf Kalla.
Seminar ini menghadirkan perspektif baru tentang bagaimana karakter Bugis-Makassar telah membentuk identitas dan ketangguhan masyarakatnya selama berabad-abad.
Rektor Unhas, Jamaluddin Jompa, membuka seminar dengan penuh semangat, menyatakan bahwa seminar ini adalah sumbangsih penting dalam perayaan Dies Natalis tahun ini.
“Ini adalah momen bersejarah, pertama kalinya kita membahas karakter Bugis-Makassar melalui persona empat Jusuf yang begitu berpengaruh,” ungkap Jamaluddin.
Salah satu momen yang paling menyentuh adalah ketika Prof. Dr. Nurhayati Rahman, seorang akademisi terkemuka dari Unhas, berbicara tentang makna “siri” dalam budaya Bugis-Makassar.
Ia menjelaskan bagaimana “siri” bukan hanya sekadar rasa malu, tetapi sebuah prinsip hidup yang memandu masyarakat untuk selalu menjunjung tinggi kehormatan diri.
“Siri mengajarkan kita untuk menghadapi hidup dengan penuh harga diri,” ujar Prof. Nurhayati, yang disambut dengan anggukan setuju dari para hadirin.
Sementara pemateri lainnya, Prof. Makoto Ito dari Tokyo Metropolitan University, menghubungkan nilai-nilai Bugis dengan budaya Jepang.
“Setelah kembali dari Jepang, saya semakin yakin bahwa konsep siri di Makassar sangat mirip dengan budaya malu di Jepang. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kehormatan dalam membentuk karakter pemimpin,” katanya.
Kekaguman terhadap budaya bugis-makassar juga disampaikan oleh Douglas Laskowske, seorang pemerhati budaya yang telah lama tinggal di Sulawesi Selatan. Ia engungkapkan rasa cintanya terhadap bahasa dan budaya Bugis.
Dengan lancar ia berbicara dalam bahasa Bugis, mengucapkan terima kasih kepada masyarakat dan lembaga pendidikan di Makassar yang telah mendukung penelitiannya.
“Bahasa Bugis itu indah, dan semakin saya mendalaminya, semakin besar rasa hormat saya terhadap budaya ini,” tutupnya. (*)