HERALD.ID, KONSEL – Senin sore yang basah di Konawe Selatan. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak embun di dedaunan dan tanah yang lembap di sekitar SDN 3 Baito. Supriyani, seorang guru honorer yang lemah lembut, tak pernah menduga bahwa langkah-langkahnya yang ia anggap biasa, mendidik dan mendampingi anak-anak, akan mengantarnya pada hari-hari penuh gejolak.

Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Mobil dinas Camat Baito, Sudarsono—yang hari itu dikendarai oleh kepala desa seorang diri—melintas di jalan yang ia lewati saban hari, jalan yang sama di depan sekolah di mana Supriyani pernah mengabdi.

Tapi Senin, 28 Oktober 2024 itu berbeda, denting tajam suara tembakan tiba-tiba menembus udara dan melubangi kaca samping mobil. Momen itu menyisakan sebuah misteri dan ketegangan yang memancar, menyebar bersama kabar yang menyelusup di tiap sudut Konawe Selatan.

“Saya sedang duduk-duduk di aula ketika menerima telepon dari Pak Herwan. Dia bilang ada yang menembak mobil saya, tapi saya belum bisa pastikan itu peluru apa,” kata Sudarsono.

Sambil terdiam, ia menyimpan keresahan—rasa yang sama mengalir di seantero Konawe Selatan. Apakah ini sekadar serangan acak, ataukah ada maksud tersembunyi?

Sudarsono bukan hanya sekadar camat bagi Supriyani. Ia menjadi pengawal sekaligus tumpuan bagi guru honorer ini dalam melawan badai hukum yang menimpanya.

Sejak kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang siswa melibatkan nama Supriyani, Sudarsono telah membuka pintu rumah jabatannya untuk Supriyani, memberi ruang teduh bagi guru yang sedang berada di pusaran arus besar.

Sementara itu, di luar sana, ratusan guru tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) membanjiri Pengadilan Negeri Andoolo. Mereka tidak datang untuk berdemonstrasi dengan suara riuh atau ancaman.

Tidak, mereka datang dengan cara yang berbeda—dengan tangan-tangan yang memegang kitab suci dan suara lirih yang membacakan Surah Yasin. Di bawah payung-payung yang melindungi mereka dari gerimis sisa hujan, mereka duduk bersila, menghadap ke arah pengadilan, melantunkan doa yang diharapkan bisa menembus dinding dingin gedung itu, membawa keadilan bagi seorang guru yang mereka anggap tidak bersalah.

“Ini bukan hanya perjuangan Supriyani, tapi juga perjuangan kami semua,” ujar Kamirun, seorang koordinator lapangan dari PGRI Konawe Selatan, dengan suara tegas.

Ratusan pasang mata memandangnya, tekad dan harapan terpancar di wajah-wajah mereka. Di balik doa dan air mata, mereka menyimpan keyakinan bahwa Supriyani, simbol keteguhan seorang pendidik, akan meraih kebebasan yang ia perjuangkan.

Kapolsek Baito, Ipda Muhammad Idris, yang berada di lokasi kejadian, berkata bahwa kasus ini tengah dalam penyelidikan. Ia tak menjelaskan lebih jauh, namun hanya mengisyaratkan bahwa setiap jengkal akan diperiksa secara cermat, menunggu tim identifikasi dari Polres untuk mengurai teka-teki ini. Sementara itu, mobil dinas yang menjadi saksi bisu penembakan telah diamankan di Polsek Baito.

Malam itu, ketika Konawe Selatan mulai berangsur sunyi, suara lantunan Yasin masih menggema, menembus pekat, menjadi saksi dari solidaritas dan harapan. Di tengah segala ketidakpastian, doa-doa itu berbisik lembut, mengiringi langkah Supriyani dan setiap guru yang berjuang bersama di dalam bayang-bayang keadilan. (*)