HERALD.ID, KONAWE SELATAN – Di sebuah ruang kelas yang sunyi di SDN 04 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, kasus yang bermula dari bisikan, berubah menjadi badai yang menyeret seorang guru honorer, Supriyani, ke jeruji besi.

Tuduhan penganiayaan melayang pada Supriyani, sosok yang mungkin tidak menyangka, sekadar menegur akan menjadi bumerang. Tuduhan itu datang bukan hanya dari seorang siswa, tetapi dari anak seorang polisi, Aipda Wibowo Hasyim.

Hari itu, ketika polisi datang, Supriyani hanya bisa terdiam. Ia dituduh memukul anak polisi itu, mengakibatkan luka pada tubuh si anak. Bagi seorang guru dengan gaji yang tak seberapa, mengemban amanah mengajar di tengah segala keterbatasan adalah sebuah pengorbanan. Kini, pengorbanan itu berubah jadi siksaan, bahkan ancaman. Ketakutan dan ketidakpastian, sementara ia melihat sekolah, ruang kecil tempat ia berjuang, kini terasa semakin jauh dari harapannya.

Publik tersentak ketika hasil visum anak Aipda Wibowo bocor ke permukaan. Bukan pukulan sapu atau tangan keras yang menjadi penyebab luka di tubuh anak itu. Ternyata, luka itu adalah hasil dari kejatuhan di sawah—keterangan yang datang dari mulut korban sendiri, yang kini menambah lapisan absurditas di tengah polemik.

Luka melepuh yang semula dianggap sebagai hasil pukulan ternyata bukan seperti itu adanya. Abdul Halim Momo, ketua PGRI Sultra, mengonfirmasi hasil visum yang mematahkan tuduhan kejam atas Supriyani. Ia menyatakan, “Korban sendiri mengakui, luka itu karena jatuh di sawah, bukan karena pukulan guru.”

Namun, bagi Supriyani, klarifikasi ini bagai jendela kecil yang terlambat dibuka. Waktu telah terenggut; rasa takut dan aib telah menyelimuti reputasinya sebagai pendidik. Sekilas pandang para tetangga dan sanak saudara, mungkin tak lagi sama. Hanya tembok yang sepi dan doa yang tersisa di tengah malam, tempat ia bersandar, berharap keadilan akan mendekat kembali ke sisinya.

Kasus ini menjadi lebih dari sekadar cerita tentang luka di tubuh anak sekolah. Ini adalah pengingat tajam akan bagaimana dunia pendidikan, tempat Supriyani menggantungkan asa, bisa sewaktu-waktu menjadi arena yang ganas dan tak berpihak.

Di ruang sidang yang penuh dengan berkas dan suara denting palu hakim, semoga Supriyani—dan seluruh guru yang senasib dengannya—mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang menjeratnya, pertanyaan yang ia tak tahu kapan akan selesai terjawab.

Gelombang teror juga menerpa Supriyani. Mobil yang biasa digunakan untuk mengantar Supriyani, ditembak orang tak dikenal.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada Senin sore yang basah di Konawe Selatan. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak embun di dedaunan dan tanah yang lembap di sekitar SDN 3 Baito. Supriyani, seorang guru honorer yang lemah lembut, tak pernah menduga bahwa langkah-langkahnya yang ia anggap biasa, mendidik dan mendampingi anak-anak, akan mengantarnya pada hari-hari penuh gejolak.