HERALD.ID – Di tengah sorotan publik terhadap praktik hukum yang tak jarang terlibat permainan, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengemukakan keprihatinan mendalam terhadap dugaan keterlibatan bekas pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar (ZR), dalam sejumlah kasus korupsi, khususnya terkait Peninjauan Kembali (PK) eks Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming.

Dalam perbincangan dengan Inilah.com, Boyamin menegaskan, “Kejaksaan Agung harus menelusuri semua perkara yang diduga dimainkan ZR.”

Dengan tegas, Boyamin menyoroti bahwa meski tidak merinci setiap kasus, pengawasan terhadap praktik korupsi dalam proses hukum menjadi sebuah keharusan. “Kejaksaan Agung harus menelusuri semua perkara yang diduga dimainkan ZR,” serunya.

Hal ini menyiratkan sebuah ketidakpuasan terhadap bagaimana hukum dijalankan, menegaskan perlunya keadilan yang tidak hanya untuk para pelaku, tetapi juga bagi masyarakat luas yang mendambakan sistem hukum yang bersih.

Zarof, yang diduga terlibat dalam upaya “cawe-cawe” dalam PK Mardani, terhubung erat dengan pengangkatan Sunarto sebagai Ketua MA. Informasi yang beredar menunjukkan bahwa Zarof berperan aktif dalam mendukung Sunarto, yang sebelumnya menjabat sebagai hakim ketua dalam PK Mardani. Menurut rumor, Mardani berambisi menjadikan Sunarto Ketua MA dengan imbalan memuluskan PK-nya.

“Salah satu indikasi adalah surat perjalanan para pimpinan MA ke Sumenep, Madura, pada 17 September 2024,” ujar Boyamin, mengisyaratkan hubungan yang kompleks antara kekuasaan dan kepentingan pribadi.

Dalam bayang-bayang pengawasan, terungkap pula bahwa para pelaku, termasuk Mardani, terlibat dalam permainan licik, di mana uang dan pengaruh berperan dalam menentukan nasib hukum. Menariknya, Mardani dikabarkan sedang berusaha menjual pesawat pribadinya untuk mendanai keperluan logistik dalam skema ini, menunjukkan betapa dalamnya jaring korupsi yang melibatkan kekuasaan dan uang.

Ketidakpuasan Boyamin terhadap situasi ini mengalir dalam harapannya agar Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. “Kalau KPK punya indikasi dan buktinya, mereka harus memproses hukum sendiri,” tegasnya. Sementara itu, Hakim Yanto, juru bicara MA, membantah semua dugaan terkait surat yang beredar dan menjelaskan bahwa surat tersebut bukanlah dokumen resmi.

Seiring dengan berjalannya waktu, kasus ini mencuat menjadi simbol dari ketidakadilan yang sering kali terjadi dalam ranah hukum di Indonesia.

Apakah keadilan akan ditegakkan, ataukah semua ini hanyalah bagian dari permainan kekuasaan yang lebih besar? Jawaban akan terungkap seiring dengan penyelidikan yang berlanjut, memberikan harapan bagi masyarakat untuk melihat keadilan ditegakkan di atas segala kepentingan.

Dalam dunia hukum yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung, praktik-praktik korupsi hanya akan merusak fondasi kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. (*)