HERALD.ID – Di sudut sebuah pengadilan di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Supriyani, seorang guru honorer yang wajahnya teduh namun terlihat lelah, berdiri dalam ruang persidangan yang penuh dengan ketidakpastian.
Kasusnya telah menarik perhatian publik dan mencuat sebagai sorotan nasional. Di tengah deretan bangku kayu yang tak terlalu megah, Ketua Komisi Kejaksaan, Prof. Pujiono Suwadi, duduk memperhatikan setiap detail. Ada rasa prihatin dan keterpanggilan dari sosok ini, yang menyadari bahwa Supriyani bukanlah sekadar terdakwa di mata hukum, tetapi seorang pendidik yang membawa cerita lain di balik papan tulis dan kelas kecil di pedalaman.
“Kami mengikuti kasus ini dari awal,” ungkap Pujiono dengan nada tenang namun tegas. “Atensinya ada di hati dan keadilan,” lanjutnya, menggarisbawahi pesan penting bahwa penuntutan ini, selain harus berlandaskan hukum, juga perlu mempertimbangkan hati nurani. Pernyataan itu mengalir lembut namun penuh makna, mengingatkan para jaksa untuk memandang Supriyani sebagai manusia yang hidup dalam kompleksitas kehidupan sosial, bukan sekadar tersangka dalam berkas perkara.
Kasus Supriyani bukanlah perkara besar seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan yang biasanya memenuhi berita utama. Di tengah deretan nama besar yang kerap tersandung masalah, Supriyani adalah sosok sederhana yang kini terjerat dalam jerat hukum karena alasan yang mungkin bagi banyak orang terasa tidak masuk akal.
Komisi Kejaksaan, dengan kedatangan mereka, seperti menjadi lentera yang menerangi ketidakadilan yang kerap terselip dalam proses hukum. “Kami mengingatkan, penegakan hukum harus berlandaskan pada hukum, tapi juga pada hati nurani,” ucap Pujiono, mengingatkan bahwa ada sisi kemanusiaan yang tak boleh diabaikan.
Namun, di sudut lain ruangan, Jaksa Penuntut Umum tetap berpegang pada formalitas. Eksepsi yang diajukan oleh penasihat hukum Supriyani ditolak mentah-mentah. Ujang Sutisna, Kepala Kejaksaan Negeri Konawe Selatan, menyatakan bahwa alasan yang disampaikan oleh pihak Supriyani “tidak relevan” dengan pokok materi perkara.
Bagi jaksa, aturan adalah aturan. Namun, bagi Supriyani, seorang guru yang setiap hari mendidik generasi muda dengan upah yang jauh dari memadai, perkara ini bukan sekadar angka atau dokumen, tetapi hidup dan pengabdian yang dipertaruhkan.
Ketika persidangan usai, mata Supriyani tampak memantulkan harapan yang samar. Di ruangan itu, hukum dan hati nurani berhadapan; kisah seorang guru kecil di pelosok Sulawesi ini mengingatkan kita bahwa keadilan sejati adalah ketika hukum juga mampu mendengar suara hati. (*)