HERALD.ID – Di sebuah sudut Baito, seorang ibu bernama Nurfitriana duduk di sebuah kursi. Di teras sebuah rumah yang merupakan kediaman Nurfitriana. Mengenakan hijab cokelat yang menutupi kepala hingga dada. Dipadu gamis krem.

Di dekatnya, duduk suaminya, Aipda Wibowo Hasyim yang mengenakan kaus biru bergaris putih. Juga sarung biru. Di depan keduanya, duduk seorang wanita berambut kuncir, mengenakan baju pink dan jins biru. Dia jurnalis salah satu televisi swasta yang mewawancarai Nurfitriana dan Aipda Wibowo Hasyim, orang tua yang melaporkan guru honorer Supriyani, atas dugaan penganiayaan terhadap putra mereka.

Nurfitriana mencoba memahami bekas luka yang baru saja ia temukan di tubuh anaknya. Siang itu, hari Jumat, seperti biasa, Nurfitriana menyiapkan putranya untuk mandi. Awalnya dimandikan suaminya. Namun, saat mulai menggosok punggung sang anak, sang suami melihat ada bekas kemerahan kehitaman di pahanya. Luka itu tak biasa; bukan sekadar luka jatuh. Sang suami memanggil Nurfitriana.

Naluri keibuannya tersentak melihat bekas luka itu, dan dengan lembut ia bertanya, “Mas (sapaan Nurfitriana kepada putranya), sayang gak sama ibu?” tanya Nurfitriana.

“Sayang bu”, jawab korban.

“Kalau sayang, coba jelaskan kenapa ada luka?” tanya Nurfitriana.

“Saya dipukul mamanya Alfa,” jawab korban.

“Bu Supri?” tanya Nurfitriana. Korban mengangguk.

“Kenapa kamu dipukul?” tanya Nurfitriana lagi.

Sang anak hanya bergumam, menyembunyikan alasan sesungguhnya. “Aku nggak selesai menulis,” jawabnya dengan suara lirih, akhirnya mengakui bahwa ia dipukul dengan sapu dan sabuk.

Nurfitriana menghela napas dalam, menahan gejolak amarah dan kesedihan yang berkecamuk. Ia tak mengira anaknya menyimpan luka ini sendirian, mencoba menutupi dengan berbohong bahwa ia jatuh.

Kejadian itu menguak perasaan getir Nurfitriana—bukan hanya pada luka fisik anaknya tetapi juga pada apa yang menyelimutinya sejak munculnya surat dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Baito. Surat itu, yang menyebar luas hingga ke Polsek dan berbagai kantor pemerintahan, menyatakan, siswa yang terlibat masalah, seperti anaknya, akan dikembalikan kepada orang tua.

Dalam surat itu juga, PGRI mengimbau mogok belajar untuk seluruh siswa TK hingga SMP di kecamatan tersebut mulai 21 Oktober, hingga ada penangguhan penahanan. Di antara poin-poin yang tertulis, tertancap keputusan pahit bahwa anak-anak yang “bermasalah” tak akan diterima lagi di sekolah-sekolah se-kecamatan Baito.

Hari-hari berlalu tanpa sekolah untuk anak Nurfitriana. Setiap pagi, anaknya bertanya polos, “Kenapa nggak sekolah, Ma?” Jawaban yang ia berikan, bahwa hari itu tanggal merah, tak lagi cukup menutupi kebenaran yang bersemayam dalam hati. Suatu hari, sang anak membuka kalender, lalu dengan keheranan berkata, “Ini tidak merah, Ma.”

Kisah ini tak hanya memukul Nurfitriana sebagai ibu. Bagi Aipda Wibowo Hasyim, sang suami, penemuan luka itu pada hari Jumat menjelang salat membawa luka berbeda. Ia merasa dikhianati, bukan hanya sebagai orang tua tetapi sebagai seorang anggota kepolisian yang dipercaya melindungi warga. Ia merasa terpanggil untuk mencari keadilan, bukan sekadar untuk keluarganya tetapi juga bagi orang tua lain yang menghadapi situasi serupa.

Dari pihak sekolah, nama Supriyani disebut dalam cerita ini, namun pihak sekolah masih menampik keterlibatan langsungnya. Di sisi lain, desas-desus beredar bahwa wali kelas, Ibu Lilis, adalah yang terakhir kali terlihat mengajar di kelas pada hari kejadian, sementara Supriyani tak tampak di sekolah.

Kini, Nurfitriana dan Wibowo hanya bisa berharap, walau luka fisik anaknya mungkin akan memudar, ingatan tentang ketidakadilan ini terus menghantui. Bagi mereka, suara anaknya yang terus bertanya “Kenapa, Ma?” menuntut jawaban yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.