HERALD.ID, JAKARTA – Di tengah sorotan publik, penggunaan jet pribadi oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep akhirnya mendapat titik terang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah melalui analisis mendalam, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengumumkan bahwa perjalanan Kaesang ke Amerika Serikat dengan pesawat pribadi bukanlah perbuatan gratifikasi.
“Laporan tersebut nota dinasnya dari Deputi Pencegahan dalam hal ini menyampaikan bahwa laporan tersebut tidak dapat diputuskan apakah gratifikasi atau tidak,” ungkap Ghufron dari Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dengan nada tegas namun penuh kehati-hatian.
Polemik ini bermula pada Agustus 2024 ketika Kaesang dan istrinya, Erina Gudono, terbang ke Amerika Serikat dengan jet pribadi. Berbagai spekulasi merebak, dan publik mempertanyakan apakah perjalanan mewah tersebut masuk kategori gratifikasi, mengingat status Kaesang sebagai figur publik dan anak dari Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo. Menanggapi hal ini, Direktorat Gratifikasi KPK segera bergerak, mengumpulkan data, dan melakukan analisis komprehensif atas klarifikasi yang disampaikan Kaesang.
Pada Selasa, 17 September 2024, Kaesang hadir di KPK untuk memberikan penjelasan secara langsung, merinci perjalanan yang ia lakukan bersama Erina. Selama proses ini, tim KPK mengkaji setiap detil, dari pemberian izin hingga bukti-bukti terkait sumber dan maksud penggunaan jet tersebut.
Ghufron, dengan nada lugas, menjelaskan bahwa status Kaesang bukanlah sebagai penyelenggara negara, mengingat perannya sebagai pengusaha yang terpisah dari lingkup jabatan publik orang tuanya. “Jadi demikian halnya laporan dugaan gratifikasi Kaesang oleh Deputi Pencegahan disampaikan ke pimpinan bahwa yang bersangkutan bukan penyelenggara negara, sudah terpisah dari orang tuanya,” ungkap Ghufron, mengakhiri spekulasi yang sempat bergulir.
Di balik ketukan palu yang menyatakan bahwa ini bukan gratifikasi, ada pesan yang lebih dalam: batasan antara publik dan pribadi, antara wewenang dan tanggung jawab. Di Indonesia, di mana bayang-bayang kuasa keluarga seringkali menjadi bahan perdebatan, keputusan ini menjadi sinyal bahwa garis yang memisahkan hak pribadi dan kewajiban publik dapat—dan harus—dijaga dengan jelas.
Sebagaimana yang diungkapkan Ghufron, hasil analisis tersebut membawa pesan bagi publik bahwa transparansi tidak hanya tentang apa yang terlihat, tetapi tentang keadilan dalam menilai. Sementara itu, Kaesang kembali menjalani harinya sebagai pemimpin muda, dengan penjelasan yang telah diberikannya di meja hukum tertinggi di negeri ini. (*)