HERALD.ID – Di tengah kegaduhan politik dan dinamika birokrasi, Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menyuarakan sebuah harapan: agar Prabowo Subianto sebagai Presiden memperketat aturan kunjungan kerja pejabat ke luar negeri.

Dengan nada yang tegas namun berlapis keprihatinan, Mahfud berbicara tentang kebutuhan pengaturan ulang untuk menghindari kunjungan luar negeri yang kerap tak membawa manfaat signifikan.

Dalam sebuah unggahan di akun Instagramnya, Mahfud menyingkap suara-suara yang jarang terdengar dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di mancanegara, yang mengaku kelelahan menerima rombongan pejabat demi rombongan lainnya.

“Belum pulang yang satu, datang lagi yang lain. Mereka harus dilayani secara protokoler,” ujarnya. Barisan pegawai KBRI yang semula bersemangat melayani tugas negara, kini sering kali merasa energi mereka terkuras untuk menyambut wajah-wajah yang berganti tanpa henti.

Pemandangan ini bukan baru. Mahfud bahkan mengingat masa-masanya di DPR, di mana tak hanya Komisi yang mendapat hak kunjungan luar negeri, tetapi Panitia Khusus (Pansus) sebuah Rancangan Undang-Undang pun menikmati fasilitas studi banding, meski urgensinya kerap dipertanyakan.

Suara Mahfud ini tidak berdiri sendiri. Prabowo sendiri telah melontarkan imbauan serupa kepada para menteri untuk mengurangi perjalanan ke luar negeri. Dalam sebuah kesempatan di Gelora Bung Karno, Sabtu lalu, Prabowo menyampaikan permintaan penuh kesadaran: “Jangan terlalu banyak anggotamu jalan-jalan ke luar negeri. Kalau mau, pakai uang sendiri.”

Prabowo ingin menegaskan bahwa masalah-masalah dalam negeri sudah cukup jelas untuk dihadapi tanpa harus terlalu sering melakukan studi banding. Baginya, kini adalah saatnya para pejabat menahan diri dan fokus menangani persoalan rakyat di tanah air.

Menguatkan permintaan tersebut, Prabowo bahkan membagikan pengalaman pribadi sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Ia berkisah tentang lima anggota DPRD yang datang ke rumahnya dengan wajah memelas, meminta izin untuk pergi ke luar negeri. Mereka adalah petani yang belum pernah menginjakkan kaki di negara asing. Prabowo akhirnya memberi izin, tetapi tak lupa menegaskan bahwa kesempatan itu adalah yang terakhir.

Permintaan Mahfud dan Prabowo ini adalah sebuah ironi dalam lingkaran birokrasi: di saat rakyat menanti perbaikan nyata, pejabat justru sibuk di kursi pesawat, menatap awan dan horizon yang seharusnya lebih berarti jika diterjemahkan menjadi aksi nyata di tanah kelahirannya. Bagi Mahfud, pengaturan ini adalah langkah kecil namun penting untuk menjaga keseriusan tugas negara, dan menegakkan martabat KBRI yang terus berjaga demi menjaga diplomasi – bukan sekadar penyambut kunjungan yang silih berganti. (*)