HERALD.ID — Pengamat hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menyelidiki dugaan korupsi terkait impor gula pada periode 2015-2016 yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Tom Lembong.
Namun, menurutnya, kasus impor gula ini hanyalah salah satu bagian dari permasalahan yang lebih besar dalam kebijakan impor di Indonesia. Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya memperluas cakupan penyelidikan, terutama pada impor komoditas lain yang juga berpotensi merugikan keuangan negara.
“Kejagung memang sedang melakukan penyelidikan atas kasus impor gula ini, tetapi ini seharusnya dimanfaatkan sebagai momentum untuk melakukan pengusutan yang lebih luas. Bukan hanya terbatas pada gula, tetapi juga pada impor lainnya yang berpotensi merugikan negara, seperti impor beras (demurrage) yang sempat ramai dibicarakan publik,” ujar Hardjuno pada Minggu (3/11/2024).
Hardjuno, yang saat ini juga merupakan kandidat doktor di bidang hukum dan pembangunan di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, menilai bahwa praktik impor komoditas yang merugikan negara bukanlah hal baru.
Menurutnya, praktik tidak transparan dalam impor kerap kali melibatkan jaringan luas yang mampu memanfaatkan celah dalam kebijakan impor.
“Impor beras, daging sapi, dan kedelai juga memiliki risiko besar terhadap kebocoran anggaran negara. Kasus-kasus seperti ini kerap terjadi melalui modus manipulasi harga, kuota impor, hingga permainan dalam perizinan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hardjuno menekankan bahwa dampak dari praktik impor yang tidak transparan tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian nasional, khususnya petani lokal.
“Impor gula, beras, dan kedelai yang berlebihan jelas mempengaruhi harga komoditas lokal. Akibatnya, petani kehilangan pasar dan harga produk dalam negeri turun drastis,” ujarnya.
Oleh karena itu, Hardjuno menyarankan agar komoditas strategis seperti beras, gula, atau daging sapi dilindungi dengan kebijakan yang komprehensif untuk memastikan keberlanjutan produk dalam negeri sekaligus menjaga stabilitas harga.
“Ketergantungan pada impor tanpa adanya pengawasan ketat hanya akan menambah kerentanan ketahanan pangan kita. Kita harus memperkuat ketahanan pangan dari dalam negeri,” tambahnya.
Hardjuno juga menegaskan pentingnya transparansi dalam proses penyelidikan dan pengambilan kebijakan terkait impor komoditas.
Ia berharap Kejagung dapat lebih tegas dalam menangani kasus-kasus serupa di masa mendatang, khususnya dengan memperluas cakupan penyelidikan terhadap komoditas lain yang berpotensi menimbulkan kerugian negara.
“Ini adalah kesempatan bagi Kejagung untuk menunjukkan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan menyeluruh, tidak hanya terbatas pada satu komoditas,” tandasnya.
Hardjuno menyoroti bahwa baru-baru ini, terungkap potensi kerugian negara dari praktik impor beras yang tidak terkendali. Pada 3 Juli 2024, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) telah menyerahkan laporan tentang potensi kerugian negara atas impor beras yang dinilai ugal-ugalan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Laporan tersebut memuat dugaan mark up (selisih harga) impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun, serta kerugian negara akibat demurrage impor beras yang mencapai Rp294,5 miliar. Nama Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, dan mantan Dirut Perum Bulog Bayu Krisnamurthi juga disebut-sebut terkait dalam laporan tersebut.
Namun, sayangnya, KPK terkesan ‘masuk angin’ dalam menangani kasus ini. Hingga kini, laporan tersebut tidak jelas perkembangannya, seolah-olah dibiarkan begitu saja tanpa tindak lanjut.