HERALD.ID, JAKARTA – Minggu sore yang gelisah. Detik-detik penangkapan Prasetyo Boeditjahjono akhirnya berakhir di sebuah kamar hotel di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Tiga minggu lamanya penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) mengejar jejak mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan ini, sebelum sang tersangka yang buron itu berhasil ditemukan, di tengah keluarganya.

Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, berbicara tentang upaya panjang yang mengiringi proses penangkapan ini. “Sudah tiga pekan kami terus mengikuti jejaknya,” katanya, matanya menyiratkan kepenatan dari kerja panjang yang menuntut ketelitian dan kesabaran. Keputusan Kejagung tak main-main. Prasetyo, yang telah lama absen dari panggilan penyidik, kini resmi ditetapkan sebagai tersangka pada kasus besar yang menyedot anggaran negara triliunan rupiah.

Kasus ini bukan sekadar soal kerugian finansial; proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa yang seharusnya menghubungkan Sumatera Utara dan Aceh ternyata hanya meninggalkan kerusakan. Jalur yang didesain untuk mengangkut harapan dan mobilitas, berubah menjadi tragedi penuh penyimpangan. Pembangunan yang diperkirakan menghabiskan anggaran Rp1,3 triliun dari Surat Berharga Syariah Negara, justru dimanipulasi sejak awal.

Prasetyo diduga memecah proyek itu menjadi 11 paket. Intrik di balik lelang konstruksi yang terencana ini melibatkan delapan perusahaan yang disiapkan untuk memenangkan tender atas perintah Prasetyo sendiri. Tanpa studi kelayakan, tanpa dokumen teknis yang memadai, konstruksi berjalan bagaikan bayang-bayang yang hanya berakhir di tanah yang amblas dan jalur yang tak pernah terpakai.

Namun, Prasetyo tidak bekerja sendirian. Nur Setiawan Sidik, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Rieki Meidi Yuwana, Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa, adalah aktor-aktor yang berada dalam lingkaran penyimpangan. Mereka menyesuaikan proses tender sesuai arahan atasannya, membuat regulasi hanya sebatas formalitas.

Sebuah alur yang berujung pada keuntungan pribadi. Dari proyek penuh celah ini, Prasetyo diduga menerima komisi Rp1,2 miliar dari Akhmad Afif Setiawan selaku Pejabat Pembuat Komitmen, serta tambahan Rp1,4 miliar dari perusahaan yang terlibat, PT WTJ. Namun, meski dugaan aliran dana tersebut telah terbuka, Qohar menegaskan penyelidikan lebih dalam tetap akan dilakukan.

“Sabar, ya. Yang pasti, kami akan tanyakan semua. Dari siapa, untuk apa, dan berapa yang diterima,” ungkap Qohar tegas. Ada desakan akan jawaban, dan ada kepastian yang masih samar di balik rupiah yang berpindah tangan dalam kegelapan.

Di tengah upaya penegakan hukum ini, kasus Prasetyo adalah potret getir dari potensi pengkhianatan atas amanah publik. Tidak hanya angka besar yang hilang, namun kepercayaan yang juga memudar di antara koridor birokrasi yang penuh bayang-bayang abu-abu. (*)