HERALD.ID, JAKARTA – Langit Jakarta Selatan terasa berat, seolah menyimpan beban yang sama dengan sosok Thomas Trikasih Lembong—mantan Menteri Perdagangan yang kini mendekam dalam ruang-ruang pengap tahanan. Di balik jeruji, Tom, begitu ia biasa disapa, menunggu dengan tenang namun gelisah, sementara di luar, tim penasihat hukumnya bertarung untuk membuktikan sesuatu yang lebih dari sekadar pembelaan: kebenaran.
Pada Selasa, 5 November 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi medan awal bagi Tom Lembong dan tim hukumnya, dipimpin oleh Ari Yusuf Amir, untuk mencari keadilan yang mereka yakini telah dikhianati. Dalam suasana yang sarat ketegangan, mereka mengajukan permohonan praperadilan yang mempertanyakan keabsahan penetapan tersangka dan penahanan yang menjerat nama Tom dalam dugaan korupsi impor gula.
Poin demi poin dituangkan dalam permohonan itu, menggambarkan sebuah narasi penuh perjuangan dan harapan yang tak lekang akan keadilan.
Hak untuk Mendapatkan Penasihat Hukum yang Diabaikan
Poin pertama yang disoroti oleh tim hukumnya adalah hak dasar yang begitu sederhana, namun justru diabaikan. Ketika berita penetapan tersangka itu pertama kali mengemuka, Tom tidak diberi kesempatan untuk menunjuk penasihat hukum. Dalam momen-momen kritis itu, hak asasi dan hukum justru menjadi hening—tak ada tempat baginya untuk bersuara, tak ada ruang untuk bersiap. Bagi tim hukumnya, ini bukan sekadar prosedur, tetapi bagian fundamental dari keadilan yang telah tergelincir jauh.
Bukti Permulaan yang Samar
Kemudian, pertanyaan mengenai bukti permulaan mencuat. Di bawah naungan KUHAP, setidaknya dua alat bukti sah harus memenuhi syarat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Namun, tim penasihat hukum Tom meyakini bukti yang diajukan oleh Kejaksaan Agung masih jauh dari cukup. Ada kesan samar yang mereka sebut sebagai “cacat hukum.” Bagi mereka, penetapan tersangka ini bukan hanya menyeret satu nama, tetapi menyentuh harkat, reputasi, dan kepercayaan yang telah ia bangun bertahun-tahun.
Penyidikan yang Dinilai Sewenang-wenang
Lebih lanjut, mereka menggarisbawahi proses penyidikan yang dianggap sewenang-wenang, bagaikan bayang-bayang tak kasat mata yang menghakimi tanpa dasar yang jelas. Tanpa hasil audit yang menunjukkan kerugian negara yang nyata, tuduhan korupsi ini terasa, bagi mereka, sebagai langkah yang terlalu jauh. Apa artinya keadilan jika ia sendiri mengabaikan landasan prosedur?
Penahanan yang Dianggap Tidak Berdasar
Di sisi lain, mereka juga menyoroti penahanan yang dianggap tidak berdasar. Tim hukum mempertanyakan syarat objektif dan subjektif dari penahanan Tom Lembong. Tak ada indikasi bahwa ia akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Bagi mereka, penahanan ini seperti langkah yang dibuat untuk menundukkan, bukan untuk mencari keadilan. Bagi Tom, yang selama ini setia berdiri di balik prinsip integritas, ini adalah keheningan yang dipaksakan.
Tidak Ada Bukti Perbuatan Melawan Hukum
Bagian terakhir dari permohonan praperadilan ini berfokus pada inti permasalahan: apakah benar Tom melakukan tindakan melawan hukum yang memperkaya dirinya, orang lain, atau korporasi? Tim hukumnya menegaskan bahwa mereka tidak menemukan bukti yang mengarah ke sana. Ini bukan hanya soal uang atau kebijakan impor, tetapi soal prinsip hukum yang harusnya berdiri di atas segalanya.
Langkah untuk Memulihkan Nama Baik
Di tengah sorotan media dan tekanan publik, langkah ini tak semata soal membebaskan Tom dari tahanan, tetapi juga untuk memulihkan nama baik yang selama ini ia bangun sebagai seorang negarawan. Ari Yusuf Amir dengan tegas menyampaikan bahwa semua bukti telah mereka kumpulkan, dan mereka siap berdiri di ruang sidang untuk membuktikan bahwa Tom tak bersalah.
Di antara riuh rendah tuntutan keadilan, ada kesunyian yang mengakar dalam, perasaan seorang pria yang selama ini berdiri demi kebaikan negeri. Di balik tembok yang mengekang, Tom menanti. Di luar, pertarungan pun terus berlangsung. (*)