HERALD.ID – Di tengah aroma kopi pagi yang menguar di Kantor Presiden, Rabu, 6 November 2024, Prabowo Subianto memimpin sidang kabinet paripurna.

Namun, hari itu bukan sekadar pertemuan biasa; ada seruan baru yang ingin ia sampaikan kepada para menterinya. Dalam waktu dekat, Prabowo akan berangkat dalam perjalanan diplomatik panjang—menuju KTT APEC di Peru, KTT G20 di Brasil, dan kunjungan resmi ke China, Amerika Serikat, serta Inggris. Total, 16 hari ia akan berada di negeri-negeri jauh.

“Bukan alasan bagi kita untuk terputus komunikasi,” tegasnya, menembus ruang dengan pandangan tajam. “Saya kira, dengan teknologi sekarang, kita bisa bertemu kapan saja, dari mana saja. Vid-con bisa jadi sarana, karena banyak hal yang perlu cepat direspons.”

Prabowo memahami bahwa dunia bergerak cepat, dan komunikasi antar-menteri serta presiden harus bisa mengikuti irama yang sama. Pesan itu disampaikan sambil meyakinkan menterinya bahwa dirinya, walau terbang menembus benua, tetap ada untuk mereka.

“Jika saudara-saudara sudah laporkan ke Menko, tetapi masih perlu klarifikasi dari saya, jangan ragu-ragu untuk menghubungi,” lanjutnya. “Telepon saja, langsung. Kita tim, kolega yang mengabdi untuk rakyat,” tambahnya dengan nada rendah namun tegas, menyisipkan nilai kebersamaan di balik struktur formal birokrasi.

Di hadapan mereka, Prabowo menyerukan untuk melupakan hal-hal yang bersifat protokoler dan feodal. Ini bukan saatnya berjarak. Para menteri adalah rekannya dalam bekerja dan sama-sama punya tanggung jawab kepada rakyat. Teknologi, baginya, adalah jembatan untuk meruntuhkan tembok keprotokoleran yang tak perlu.

“Namun, tetap hati-hati,” Prabowo mengingatkan, “ada hal-hal yang tidak boleh terucap lewat telepon. Zaman sekarang, banyak telinga yang ingin mendengar.”

Perjalanan ke Peru, Brasil, hingga AS dan Inggris bukan sekadar kunjungan, tetapi juga harapan untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung dunia. Prabowo bahkan mempertimbangkan undangan G7 sebagai kesempatan strategis yang belum tentu datang setiap hari. Baginya, undangan itu sebuah kehormatan, tanda bahwa Indonesia kini dilihat sebagai kekuatan yang berperan penting di tengah gejolak ekonomi global.

Sore itu, sidang paripurna ditutup tanpa hingar-bingar protokoler, hanya pesan kuat yang tersisa: kendali pemerintahan di era modern tak perlu dibatasi ruang dan waktu. Di balik layar layar, Presiden dan kabinetnya akan terus terhubung—bersama menjaga Indonesia tetap kuat di kancah global. (*)