HERALD.ID, JAKARTA – Di tengah diskusi hangat soal kebijakan ekonomi yang merambah pemulihan pascapandemi, Abdul Rahman Farisi, seorang ekonom dan mantan tenaga ahli di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, menyuarakan dukungannya untuk penghapusan utang bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Baginya, langkah ini bukan hanya upaya sesaat, melainkan sebuah strategi untuk menghidupkan kembali sektor yang berkontribusi besar pada ekonomi nasional.

“Kebijakan penghapusan utang ini dapat menjadi prime mover bagi UMKM yang selama ini tertekan oleh beban finansial,” ujar Abdul Rahman dalam wawancara pada Rabu (6/10). Menurutnya, dengan bantuan penghapusan utang, UMKM dapat kembali bernafas lega dan memperoleh insentif untuk membangkitkan usaha mereka yang hampir kandas di tengah beban keuangan.

Namun, dalam pandangannya, kebijakan ini perlu dikawal dengan syarat-syarat ketat. Abdul Rahman menyoroti pentingnya mekanisme selektif dalam pemberian keringanan utang, guna menghindari apa yang disebutnya sebagai “moral hazard” yang kerap muncul dalam pemutihan utang. Ia menyarankan agar kebijakan ini tidak terlalu sering dilakukan, cukup sekali dalam lima hingga sepuluh tahun, agar tetap efektif tanpa mengundang masalah baru.

“Pemutihan utang harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian agar UMKM tidak menganggap pinjaman sebagai bentuk modal usaha yang bebas risiko,” ujar politisi Golkar ini dengan nada penuh penekanan.

Lebih dari sekadar pemutihan, Abdul Rahman mengajukan gagasan yang terkesan visioner. Ia melihat pentingnya adanya hubungan yang lebih erat antara usaha besar dan UMKM, yang ia sebut sebagai “kemitraan usaha”. Kemitraan ini diharapkan tidak hanya membantu UMKM bertahan, tetapi juga memungkinkan mereka tumbuh bersama dengan perusahaan besar. Ia menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan aturan yang mewajibkan perusahaan besar menjalin kemitraan dengan UMKM sebagai bagian dari ekosistem bisnis.

“Bagi saya, keberhasilan penghapusan utang harus dibarengi dengan dukungan usaha besar pada UMKM, terutama dalam bentuk kemitraan. Misalnya, insentif seperti Tax Holiday bisa dikondisikan dengan kemitraan ini, sehingga UMKM benar-benar merasakan dukungan dalam rantai bisnis,” tegas Abdul Rahman, yang sebelumnya pernah mengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.

Abdul Rahman meyakini bahwa pendekatan sinergis ini akan memberikan dampak ekonomi yang lebih berkelanjutan. Dengan frekuensi kebijakan yang dibatasi dan adanya ikatan kemitraan antara usaha besar dan UMKM, harapan akan pertumbuhan yang lebih kokoh bukan hanya angan-angan.

“Saya yakin dengan pendekatan ini, kita tidak hanya menghapus beban utang, tetapi juga membangun UMKM yang siap bersaing dan bertahan,” ujarnya mengakhiri pernyataan dengan harapan besar bagi ekonomi Indonesia yang lebih berdaya saing. (*)