HERALD.ID, KONAWE SELATAN – Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, duduk tegar di ruang pemeriksaan Propam Polda Sulawesi Tenggara, kendati lelah dan sorot matanya memendam keresahan. Sore itu di Kendari, Supriyani dihadapkan pada 30 pertanyaan yang menguliti setiap detail dari kejadian yang telah mengusik ketenangannya beberapa waktu terakhir. Empat jam lamanya, ia menceritakan ulang, menyelami lagi kejadian yang membuatnya terjerat dalam pusaran kasus dan dugaan pemerasan.

“Pertanyaannya seputar dugaan penganiayaan yang katanya terjadi di sekolah,” ujar Supriyani lirih. Tetapi bukan soal dugaan penganiayaan yang paling membuatnya resah; justru tekanan yang datang dari pihak yang seharusnya memberikan perlindunganlah yang menambah berat beban di pundaknya. Ia mengungkapkan, seorang oknum polisi dari Polsek Baito telah meminta uang Rp50 juta untuk menghentikan kasusnya.

Supriyani, sosok ibu sekaligus pendidik bagi anak-anak desa, mengaku pertama kali diminta Rp2 juta. Uang itu diserahkan melalui Kepala Desa Wonua Raya untuk Kapolsek Baito, Ipda Idris. Namun, seperti batu jatuh yang menggelinding, permintaan tersebut berkembang menjadi angka yang jauh lebih besar, Rp50 juta, yang menurut sang penyidik harus dibayar jika ia ingin kasusnya dihentikan. Supriyani menyadari betapa sulitnya memenuhi tuntutan itu. Bagaimana seorang guru honorer, dengan penghasilan seadanya, mampu mengumpulkan jumlah yang fantastis?

Dalam keheningan malam yang semakin pekat, Supriyani merasa, perjuangannya bukan sekadar melawan tuduhan penganiayaan, tetapi juga ketidakadilan yang membentang di hadapannya. Ia hanya menginginkan keadilan dan berharap suara kecilnya dapat menggetarkan keangkuhan pihak-pihak yang menekan.

Kasus ini pun menjadi perhatian luas setelah Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sultra turun tangan. Enam personel dari Polsek Baito dan Polres Konawe Selatan telah diperiksa terkait dugaan pemerasan. Kepala Bid Propam Polda Sultra, Kombes Pol Moch. Sholeh, membenarkan adanya pemeriksaan ini dan menambahkan bahwa Kepala Desa Wonua Raya akan dipanggil untuk memberikan klarifikasi mengenai perannya dalam penyerahan uang tersebut.

Kini, kasus Supriyani tak sekadar perkara pribadi; ia telah menjadi simbol bagi mereka yang merasa suaranya tenggelam dalam hiruk-pikuk kekuasaan. Di tengah hiruk-pikuk pemeriksaan dan klarifikasi, Supriyani terus melangkah, dengan harapan tipis bahwa keadilan akan berpihak padanya—seorang guru yang hanya ingin mengabdi di tengah keterbatasan dan kesederhanaan. (*)