HERALD.ID, JAKARTA – Misteri gelap di balik aktivitas pemblokiran situs judi online perlahan tersibak. Di balik layar, sederet oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggunakan kewenangan mereka bukan untuk menegakkan hukum, tetapi untuk mengeruk keuntungan. Kasus ini mencuat usai polisi menemukan ‘kantor satelit’ yang menjadi markas mafia akses judi online (judol) di sebuah ruko di kawasan Galaxy, Kota Bekasi.
Kisah ini dimulai ketika polisi menyelidiki situs judi online bernama “Sultan Menang,” yang diduga beroperasi dengan dukungan dari dalam Komdigi. Dari sinilah, Polda Metro Jaya mengungkap keterlibatan 15 orang—11 di antaranya adalah pegawai Komdigi. Tiga tersangka utama berinisial AK, AJ, dan A memainkan peran penting, sementara dua orang lainnya masih berstatus buron.
Di tengah perkembangan ini, AK menjadi sosok yang menarik perhatian. Sempat tak lolos seleksi di Komdigi, entah bagaimana, AK justru dipekerjakan dan bahkan diberi akses untuk menentukan situs mana yang diblokir dan mana yang dibiarkan beroperasi. Dalam skema ini, situs-situs judi yang ingin tetap berjalan harus ‘menyetor’ sejumlah uang kepada AK dan timnya setiap dua minggu. Setiap transaksi tak hanya dilakukan secara tunai tetapi juga melalui money changer, tempat uang setoran tersebut ‘dibersihkan’ agar tak mudah terlacak.
“Setiap website yang menyetor akan dikeluarkan dari daftar pemblokiran, sementara yang tak menyetor akan diblokir,” jelas Kombes Wira Satya Triputra, Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya. Pengawasan yang begitu cermat mengungkap bagaimana setiap daftar situs judi diseleksi dan dikontrol melalui saluran Telegram—sebuah sistem yang kian memperlihatkan kecanggihan modus kejahatan mereka.
Lebih mencengangkan, terungkapnya SOP baru yang memberikan kuasa bagi AK mengatur pemblokiran situs memancing dugaan lebih lanjut. Kombes Ade Ary Syam Indradi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, menyebut SOP ini tengah diperiksa lebih dalam untuk menyingkap apakah ada unsur kesengajaan dari dalam Komdigi dalam merekrut AK dan memberi kewenangan yang begitu besar.
Dengan total aset Rp 73,7 miliar yang disita dalam bentuk uang tunai dan mata uang asing, pihak kepolisian terus menelusuri rantai panjang mafia ini. Dalam operasi yang masih berlangsung, dua tersangka dengan inisial A dan M yang kini menjadi buron masih diburu.
Di balik rutinitas keseharian Komdigi, terbentang drama rumit yang menyingkap sisi gelap kekuasaan. Ketika kepercayaan publik dikhianati oleh para penjaga sistem itu sendiri, timbullah pertanyaan tentang berapa dalam praktik ini sudah merusak integritas di kementerian, dan apakah perombakan besar-besaran menjadi satu-satunya jalan keluar. (*)