HERALD.ID, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto tengah melakukan serangkaian kunjungan kerja ke luar negeri, mencakup beberapa negara penting seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Inggris, serta menghadiri forum multilateral seperti KTT APEC di Peru dan G20 di Brasil.

Namun, dalam lawatan ini, perhatian publik justru tertuju pada posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dinilai tidak diberi peran signifikan selama Prabowo berada di luar negeri.

Pengamat politik Rocky Gerung meniali, Presiden Prabowo memilih untuk tetap memegang kendali kabinet dari luar negeri, meminta para menteri untuk langsung melapor kepadanya jika ada isu yang tidak dapat diselesaikan melalui koordinasi dengan menteri koordinator.

“Ini menunjukkan bahwa Wakil Presiden Gibran seolah tidak diberi ruang untuk membuktikan kapasitasnya dalam mengelola urusan pemerintahan,” ujar Rocky.

Menurut Rocky, langkah Prabowo ini menimbulkan dua interpretasi. Di satu sisi, hal ini dapat dilihat sebagai bentuk kehati-hatian Presiden dalam menjaga stabilitas pemerintahan selama dirinya berada di luar negeri.

Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga mengindikasikan bahwa kapasitas Wakil Presiden Gibran masih diragukan oleh kabinet, termasuk para menteri senior yang sebelumnya berada di bawah pemerintahan ayahnya, Jokowi.

“Gibran saat ini berada dalam situasi yang sulit. Secara teknokratis, para menteri lebih nyaman berkoordinasi langsung dengan Presiden atau Menko, sementara Gibran belum mampu menunjukkan aura kepemimpinan yang dibutuhkan untuk posisi ini,” jelas Rocky.

Kunjungan kenegaraan Prabowo ke berbagai negara dinilai strategis, baik untuk memperkuat hubungan bilateral maupun membahas isu-isu global, seperti perdagangan dan stabilitas geopolitik. Namun, minimnya peran Wakil Presiden dalam konteks domestik dianggap melemahkan posisi kepemimpinannya.

“Ketika Presiden berada di luar negeri, peran Wakil Presiden seharusnya menjadi penyeimbang, menunjukkan bahwa kepemimpinan tetap berjalan meskipun kepala negara tidak ada di dalam negeri. Namun, yang kita lihat sekarang adalah Gibran hanya sebagai pelengkap, tanpa fungsi yang berarti dalam tata kelola pemerintahan,” jelasnya.

Situasi ini terjadi di tengah tantangan global, termasuk terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang diprediksi membawa dampak besar bagi perekonomian dunia.

Bank Indonesia bahkan telah memperingatkan potensi pelemahan rupiah dan eksodus kapital akibat kebijakan ekonomi Trump yang cenderung proteksionis.

Rocky menggarisbawahi bahwa dampak geopolitik ini seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah. Namun, absennya koordinasi yang solid antara presiden dan wakil presiden dapat memicu ketidakpastian lebih lanjut.

“Stabilitas pemerintahan yang tampak hari ini bisa menjadi semu jika koordinasi internal tidak berjalan baik,” katanya.

Posisi Gibran sebagai Wakil Presiden menghadirkan tantangan besar, terutama dalam membangun kredibilitas di tengah keraguan publik dan kabinet.

“Gibran harus segera menemukan langkah strategis untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar simbol politik, tetapi seorang pemimpin yang mampu mengambil peran nyata dalam pemerintahan,” pungkas Rocky. (san)