HERALD.ID, JAKARTA — Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) baru-baru ini menyuarakan protes keras terkait pencantuman nama mereka dalam disertasi Bahlil Lahadalia, yang sedang disusun untuk meraih gelar doktor di Universitas Indonesia.
JATAM menegaskan bahwa mereka tidak pernah diwawancarai oleh Bahlil, dan merasa keberatan namanya digunakan tanpa izin untuk mendukung penelitian tersebut.
Isu ini mencuat setelah disertasi Bahlil yang mengangkat tema tambang dan sumber daya alam menarik perhatian publik, memicu perdebatan mengenai metodologi dan etika penelitian.
Menurut Rocky Gerung, pengamat politik dan intelektual, permasalahan ini muncul setelah disertasi Bahlil menyebutkan JATAM sebagai informan utama, meskipun organisasi tersebut tidak pernah dilibatkan dalam wawancara resmi oleh Bahlil.
“Data yang seolah-olah diambil dari JATAM ternyata didapatkan melalui wawancara dengan Iski Askia, seorang peneliti dari Lembaga Demografi UI. Namun, JATAM menilai bahwa Askia tidak pernah menyebutkan bahwa wawancara itu akan digunakan dalam disertasi Bahlil,” kata Rocky dilansir melalui akun YouTube-nya.
Lebih lanjut, JATAM mencurigai bahwa Iski Askia bertindak sebagai “joki penelitian” untuk Bahlil, yang diduga menggunakan data tersebut tanpa mengklarifikasi tujuan akademisnya.
“Ini adalah manipulasi metodologi yang jelas. Metodologi dalam riset harus dipertanggungjawabkan dari awal, dan tidak boleh ada upaya penyembunyian atau manipulasi data,” tegas Rocky.
JATAM juga mengkritik sikap Universitas Indonesia (UI) yang menganggap masalah ini sebagai persoalan revisi semata.
“Tidak bisa hanya direvisi, ini soal integritas akademik. UI harus memeriksa apakah disertasi ini memang memenuhi standar etika dan metodologi penelitian yang benar,” lanjutnya.
JATAM menuntut agar UI memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang bagaimana disertasi Bahlil bisa lolos meskipun terdapat dugaan ketidaksesuaian dalam penggunaan data dan metodologi.
Rocky Gerung pun menyoroti kekhawatiran tentang kualitas riset di Indonesia, terutama di Universitas Indonesia, yang seharusnya menjadi contoh standar akademik yang tinggi.
“Jika UI gagal mengatasi isu ini dengan serius, mereka akan semakin memperburuk citra akademik universitas kita, yang sudah semakin tergerus oleh masalah plagiarisme dan manipulasi data,” tambahnya. (*)