HERALD.ID – Di sebuah ruang sederhana di PN Andoolo, Konawe Selatan, mata Supriyani, seorang guru honorer di SD Negeri 4 Baito, menyiratkan kelegaan dan ketabahan yang telah diuji waktu. Sore itu, Jaksa Penuntut Umum, Ujang Sutisna, dengan nada tegas tapi hati-hati, membacakan tuntutannya: bebas. Tuduhan bahwa Supriyani telah menganiaya seorang siswa akhirnya tak terbukti dalam pandangan hukum.

“Menuntut, supaya majelis hakim memutuskan, menyatakan, dan menuntut Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum,” ujar Ujang di tengah perhatian yang khusyuk dari para hadirin, Senin sore itu. Ia menyampaikan bahwa dugaan sifat jahat dari tindakan Supriyani—kunci yang diperlukan untuk menjatuhkan dakwaan—tak bisa dibuktikan. Di balik segala prasangka, ada alasan lebih dalam, katanya, yang lebih dekat pada naluri seorang pendidik daripada tindakan kasar.

Polemik ini dimulai ketika Supriyani diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang siswa, suatu hal yang dianggap penganiayaan oleh sebagian pihak. Namun, JPU memandangnya berbeda. Supriyani, dalam pandangan JPU, hanya sedang mendidik siswa dengan cara yang mungkin tak diterima semua orang, tapi sama sekali tak dimaksudkan untuk mencelakai.

“Perbuatan pidana mungkin terbukti, tapi sifat jahatnya tidak ada,” lanjut Ujang, memecah keheningan di ruang sidang. Ia memaklumi bahwa, dalam situasi pendidikan yang kadang penuh tekanan, ada ketegangan antara mendidik dan menegur, di mana niat baik bisa disalahartikan, bahkan sampai berujung tuntutan hukum.

Pengadilan hari itu tak hanya menghakimi Supriyani, tapi juga memancing sorotan pada dunia pendidikan dan dilema seorang guru. Baito adalah wilayah kecil, dan bagi Supriyani, pengajar honorer dengan pendapatan yang mungkin tak sebanding dengan beban morilnya, setiap hari adalah medan juang.

Di tengah gemuruh polemik, terselip harapan bahwa kasus ini akan memberikan pelajaran baru: bukan hanya pada Supriyani, tapi pada semua yang terlibat dalam pendidikan. (*)