HERALD.ID – Dalam ruangan yang tenang dan pencahayaan hangat, Presiden RI Prabowo Subianto berdiri tegap, telepon di tangannya, tampak serius tapi juga sedikit bersemangat. Di ujung sana, suara yang dikenal seluruh dunia menjawab: Donald Trump, yang baru saja memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat, memulai percakapan yang mencerminkan dua pemimpin yang kini terhubung oleh rasa saling menghormati dan sekilas persahabatan.
“Anda bisa menelepon kapan pun Anda mau. Anda memiliki nomor saya,” ujar Trump, suaranya tegas namun hangat, terdengar jelas dalam rekaman yang diunggah di akun Instagram Prabowo. “Ini nomor saya. Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk berbicara dengan Anda.” Dalam suara itu ada nada bangga yang tidak bisa disembunyikan, seolah perbincangan dengan Prabowo adalah tanda penting dari kekuatannya yang baru.
Prabowo, yang kini sedang berada dalam lawatan kenegaraan di luar negeri, menyimak dengan saksama. Ia merespons dengan ucapan selamat, dan meskipun jarak membentang ribuan kilometer, ia menawarkan akan terbang langsung untuk mengucapkan selamat secara pribadi. Tawa kecil terdengar di antara kata-kata formal, mencairkan suasana. “Kami telah mengadakan pemilu yang hebat di Amerika,” kata Trump. “Sebuah pemilu yang luar biasa, sukses terbesar dalam seratus tahun, katanya.”
Senyum tipis muncul di wajah Prabowo, terpancar rasa kagum dan hormat. Namun, ia juga mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam—kegelisahan, bahkan kekhawatiran, atas kejadian baru-baru ini: percobaan pembunuhan terhadap Trump yang nyaris merenggut nyawa sang presiden terpilih. “Kami semua terkejut ketika mereka mencoba membunuh Anda, tapi kami sangat senang karena Yang Maha Kuasa melindungi Anda, Pak,” ujar Prabowo, nada suaranya meneduhkan.
Di seberang sana, Trump mengakui keajaiban yang melindunginya. “Saya kebetulan berada di tempat yang tepat, di arah yang benar. Kalau tidak, aku tidak akan berbicara denganmu sekarang,” jawab Trump, terdengar setengah lega. Keberuntungan mungkin berpihak padanya, tetapi ada nada syukur dalam suaranya yang biasanya tegas. Bagi Trump, momen itu bukan sekadar percakapan biasa; itu adalah pengingat akan nyawa yang rapuh, bahkan bagi seseorang yang berdiri di puncak kekuasaan.
Percakapan berlanjut, ringan dan penuh dengan penghormatan dua arah. Seperti dua ksatria lama yang saling menghormati, Trump menanyakan kabar Prabowo, dan Prabowo menjawab bahwa semuanya baik-baik saja di tanah air. Saling menghormati dan berjanji untuk tetap terhubung, keduanya mengakhiri percakapan dengan sebuah janji tak terucap, di mana politik internasional dan hubungan pribadi membentuk paduan yang unik. Bagi Prabowo dan Trump, telepon malam itu adalah jembatan baru yang menghubungkan mereka—dari Washington hingga Jakarta, dari kampanye yang berbahaya hingga percakapan yang ramah. (*)