HERALD.ID — Di tengah suasana rapat yang tegang, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra, Muhammad Rahul, menyoroti Kejaksaan Agung dengan tajam. Sorotannya mengarah pada penetapan tersangka atas Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi impor gula. Penetapan tersangka itu, menurut Rahul, terlihat tergesa-gesa, dan ia mendesak Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memberikan kejelasan agar publik tidak terseret dalam spekulasi liar.

“Penetapan tersangka dalam kasus ini terkesan terlalu cepat, Pak Jaksa Agung,” ujar Rahul, suaranya tegas dan mata tajam menatap ST Burhanuddin. Menurutnya, Kejagung perlu membuka seluruh konstruksi hukum kasus ini secara gamblang. “Proses hukum harus dijelaskan dengan detail. Kita tidak ingin masyarakat menduga-duga tanpa dasar,” tambahnya.

Rahul juga mengungkap kekhawatiran yang lebih besar: citra pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto yang berisiko ternodai jika hukum terkesan dimanfaatkan sebagai alat politik. “Jangan sampai publik beranggapan bahwa hukum menjadi alat politik di pemerintahan ini,” tegasnya. Dia menekankan pentingnya kejernihan dalam setiap langkah penegakan hukum, sesuai dengan cita-cita politik hukum yang menjunjung persatuan nasional dan integritas hukum.

Kejaksaan Agung sebelumnya menetapkan Thomas Trikasih Lembong dan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, sebagai tersangka dalam kasus yang bermula pada 2015. Kala itu, Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan memberikan izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP, meski rapat koordinasi antarkementerian menyatakan Indonesia tidak memerlukan impor karena sedang mengalami surplus gula.

Menurut Kejaksaan Agung, izin impor yang dikeluarkan oleh Lembong tidak melalui prosedur rakor dengan kementerian terkait dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian—proses yang seharusnya menjadi syarat untuk memastikan kebutuhan gula dalam negeri. Kejagung menegaskan bahwa pelanggaran prosedur ini menimbulkan potensi kerugian negara dan melanggar aturan yang seharusnya melindungi sektor pangan nasional.

Di akhir rapat, ketegangan tak mereda. Bagi Rahul dan beberapa anggota DPR lainnya, transparansi adalah kunci. Mereka menuntut agar tidak ada ruang untuk interpretasi abu-abu di mata publik. (*)