HERALD.ID, JAKARTA — Dalam analisis tajamnya, pengamat politik Rocky Gerung mengingatkan publik untuk tidak hanya melihat program makan siang bergizi yang diusulkan oleh pemerintah Prabowo-Gibran dari sisi manfaat sosialnya saja, tetapi juga mencermati implikasi pendanaannya. Ia menyebut ada potensi jebakan utang Tiongkok di balik bantuan untuk program ini.
“Dalam politik, tidak ada makan siang gratis,” ungkap Rocky dalam sebuah diskusi yang diunggah di YouTube.
Pernyataan ini merujuk pada adagium terkenal yang menyoroti bahwa bantuan atau dukungan dari pihak lain sering kali datang dengan konsekuensi tertentu.
Program makan siang bergizi yang bertujuan meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia telah menarik perhatian publik setelah pemerintah Tiongkok menyatakan dukungannya terhadap program ini. Namun, Rocky mempertanyakan format bantuan tersebut, apakah dalam bentuk hibah atau utang.
Ia menyoroti bahwa langkah ini, meskipun strategis untuk meningkatkan gizi dan legitimasi politik pemerintahan Prabowo-Gibran, tetap membutuhkan kalkulasi matang.
“Program ini penting, tapi harus dipastikan bahwa kita tidak terjebak dalam utang yang berisiko di masa depan,” ujarnya.
Menurut Rocky, proyek besar seperti ini sering kali membawa dua sisi mata uang.
Di satu sisi, program makan siang bergizi bisa menciptakan harapan bagi keluarga-keluarga miskin dan menjadi pondasi untuk mencetak generasi unggul.
Namun di sisi lain, ia mengingatkan bahwa pendanaan dari pihak asing seperti Tiongkok sering kali dikaitkan dengan konsep debt trap atau jebakan utang.
“Tiongkok menggunakan utang sebagai instrumen untuk memperluas pengaruhnya di banyak negara, termasuk di kawasan Asia dan Afrika,” jelas Rocky.
Ia menambahkan bahwa jika tidak dikelola dengan bijak, utang ini bisa menjadi beban jangka panjang bagi Indonesia, yang ironisnya justru akan diwariskan kepada generasi penerima manfaat program tersebut.
Selain risiko utang, Rocky juga menyoroti potensi korupsi dalam pelaksanaan program ini.
“Program besar seperti ini adalah ladang empuk bagi korupsi,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa sistem distribusi makan siang bergizi harus dirancang dengan mekanisme transparan untuk menghindari praktik-praktik koruptif.
“Jangan sampai hak anak-anak untuk mendapatkan gizi yang cukup dirampas oleh tangan-tangan korup. Ini bukan hanya soal makan siang, tapi soal masa depan bangsa,” tegas Rocky.
Rocky juga mempertanyakan prioritas alokasi APBN dalam mendanai program ini. Ia menyebutkan bahwa proyek makan siang bergizi harus berada di atas ambisi-ambisi lain seperti pembangunan IKN atau proyek infrastruktur besar lainnya.
“Kalau memang APBN tidak cukup, kita harus memutuskan mana yang lebih penting: makan siang bergizi untuk anak-anak atau megaproyek infrastruktur? Ini adalah pilihan moral dan politik yang harus diambil pemerintah,” jelasnya.
Rocky menekankan bahwa program makan siang bergizi adalah kebijakan yang baik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, tetapi pelaksanaannya harus diawasi secara ketat.
“Kita mendukung penuh program ini, tetapi harus ada transparansi dan jaminan bahwa ini bukan alat untuk memperburuk ketergantungan pada utang luar negeri atau menjadi ladang korupsi,” tutup Rocky.
Ia juga mengingatkan masyarakat dan pemerintah untuk tidak melupakan prinsip keadilan sosial yang menjadi dasar konstitusi Indonesia, sembari memastikan bahwa proyek ini benar-benar memberi manfaat maksimal bagi generasi penerus bangsa. (san)