HERALD.ID — Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan bahwa penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan Thomas Trikasih Lembong, atau Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, tidak memiliki unsur politik. Hal ini disampaikan dalam rapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu, 13 November 2024.
“Untuk kasus Tom Lembong sama sekali kami tidak pernah ada maksud soal politik, kami hanya yuridis dan itu yang kami punya,” ujar Burhanuddin.
Dalam rapat tersebut, Jaksa Agung mendapat pertanyaan dari anggota Komisi III terkait prosedur penetapan tersangka terhadap Tom Lembong. Burhanuddin menegaskan bahwa proses tersebut dilakukan secara ketat dan sesuai prosedur hukum.
“Karena untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka itu tidak mudah, kami melalui proses tahapan-tahapan yang sangat rigid dan tidak mungkin kami menentukan seseorang menjadi tersangka ini akan melanggar HAM. Kami hati-hati. Nanti jampidsus juga menyampaikan apa dan mengapanya,” katanya.
Rapat kerja tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR, Rano Al Fath, yang juga menyampaikan harapan agar Jaksa Agung memberikan paparan terkait rencana kerja Kejaksaan Agung untuk periode 2024–2029. Selain itu, beberapa kasus yang menjadi perhatian publik, termasuk kasus Tom Lembong, juga dibahas dalam rapat.
“Ada beberapa perkara yang memang sedang ditangani oleh Kejagung ini cukup menarik jadi publik benar-benar hari ini melihat kinerja dari Kejagung, salah satunya dibicarakan oleh masyarakat itu perkara penetapan tersangka mantan menteri Tom Lembong,” ujar Rano.
Rano menambahkan bahwa penetapan tersangka ini menarik perhatian publik karena muncul dugaan adanya kaitan dengan politik dan desas-desus tentang kurangnya bukti yang memadai.
“Ini kan masih simpang siur satu ada yang mengatakan bahwa penetapan tersangkanya ini bisa dikaitkan dengan politik atau dikaitkan dianggap bahwa sebetulnya belum buktinya lengkap tapi dipaksakan,” tambahnya.
Kasus yang melibatkan Tom Lembong bermula ketika ia, selaku Menteri Perdagangan periode 2015–2016, memberikan izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk diolah menjadi gula kristal putih. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa izin ini dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait serta tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, meskipun pada waktu itu Indonesia diklaim tengah mengalami surplus gula.