HERALD.ID, JAKARTA – Suasana di Universitas Indonesia (UI) mendadak panas, tak hanya oleh matahari di kampus Depok, tetapi juga oleh desakan ribuan alumni yang menggugat integritas akademik institusi itu. Nama Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi yang baru saja menyandang gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), kini jadi pusat pusaran polemik.
Gelar doktor yang diperoleh Bahlil dalam waktu singkat—dua tahun—dianggap mencoreng proses akademik yang seharusnya melewati jalan terjal dan panjang. Penolakan ini dituangkan dalam sebuah petisi bertajuk “Tolak Komersialisasi Doktor, Pertahankan Integritas Akademik”, yang telah ditandatangani puluhan ribu orang.
Petisi itu bukan hanya sekadar pernyataan, tetapi juga tuntutan. Para alumni meminta dibentuknya tim independen untuk mengaudit proses penyelesaian gelar doktor Bahlil, pencabutan gelar jika ditemukan pelanggaran, dan peningkatan pengawasan terhadap standar penyelesaian program doktor di UI. Mereka juga mendesak pihak rektorat untuk mempublikasikan secara transparan prosedur, syarat, dan biaya studi doktoral.
“Ini bukan sekadar tentang Bahlil. Ini tentang menjaga kredibilitas akademik UI yang telah kami banggakan selama puluhan tahun,” ujar seorang alumni yang menjadi inisiator petisi tersebut.
Bahlil Lahadalia, yang kini menjadi pusat kontroversi, tidak tinggal diam. Dalam sebuah konferensi pers, ia membela diri dengan tenang, menjelaskan bahwa gelar doktor itu diraih melalui proses akademik yang sah. “Saya menjalani kuliah, konsultasi dengan promotor, seminar, hingga sidang terbuka. Semua prosedur telah ditempuh sesuai aturan,” ujar Bahlil.
Bahlil diketahui menyelesaikan program doktoralnya di bawah bimbingan para tokoh akademik seperti Prof. Chandrawijaya, Ato Subroto, dan para penguji terkemuka seperti I Ketut Surajaya, Dr. Margareta Hanifa, dan Didik Djunaedi Radjini. Ia menyebut bahwa perjalanan studinya penuh kerja keras, meski singkat dalam hitungan waktu.
Namun, skeptisisme publik sulit dibendung. Alumni dan masyarakat akademik mempertanyakan bagaimana Bahlil, dengan jadwal yang padat sebagai pejabat negara, dapat menyelesaikan studi doktoral dalam waktu sesingkat itu.
Di kampus, bisik-bisik tentang “komersialisasi gelar” semakin nyaring. Banyak yang khawatir jika hal ini dibiarkan, nilai sebuah gelar doktor hanya akan menjadi sekadar label, bukan bukti pencapaian intelektual.
Langit UI seakan menjadi saksi, di bawahnya ada pergulatan tentang nilai dan moral akademik, antara idealisme yang diperjuangkan ribuan alumni dan klaim prosedural yang dipegang teguh oleh seorang pejabat tinggi. Persoalan ini, lebih dari sekadar gelar, adalah soal kredibilitas dan masa depan dunia pendidikan Indonesia. (*)