HERALD.ID – Pagi itu, udara di Pengadilan Negeri Andoolo terasa berat. Ruangan penuh sesak, wajah-wajah tegang duduk bersisian, menunggu putusan yang akan menentukan nasib seorang guru honorer bernama Supriyani. Ia adalah seorang pendidik sederhana di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, yang mendadak terseret ke pusaran hukum, didakwa atas tuduhan yang bagi banyak orang terasa mustahil.

Majelis hakim akhirnya masuk, membelah keheningan. Vivi Fatmawaty Ali, salah satu hakim, membuka amar putusan dengan suara tegas namun berirama lembut. “Dalam fakta-fakta persidangan, terdakwa Supriyani dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum dalam dakwaan alternatif kesatu dan kedua.”

Setiap kata bagaikan tetes hujan yang menenangkan gurun kekhawatiran. Vivi melanjutkan, menekankan bahwa nota pembelaan terdakwa lebih dapat diterima daripada tuntutan jaksa. “Maka majelis hakim sependapat untuk membebaskan terdakwa dan memulihkan hak-haknya,” ujarnya.

Ketua majelis hakim, Stevie Rosano, memperkuat pernyataan tersebut, menambahkan bahwa barang-barang bukti seperti sepasang seragam sekolah dan sapu ijuk yang sempat menjadi bagian dari narasi kasus ini akan dikembalikan kepada saksi. “Demikian pula, seluruh biaya persidangan ini akan dibebankan kepada negara,” katanya, menutup putusan dengan suara yang membawa kelegaan kolektif di dalam ruangan.

Tangis haru pecah seketika. Rekan-rekan Supriyani yang duduk di barisan belakang saling berpelukan, beberapa menepuk pundaknya dengan penuh semangat. Sang guru honorer sendiri tampak lebur dalam emosi. Air mata yang mengalir di pipinya adalah bukti perjalanan panjang yang telah dilalui—dari hari-hari mengajar di kelas kecil hingga duduk di kursi terdakwa, dihantam prasangka dan sorotan publik.

Usai persidangan, Supriyani berdiri di tengah kerumunan pendukungnya. Ia memeluk erat keluarganya, suaranya gemetar saat berusaha mengungkapkan rasa syukurnya. “Ini semua karena doa dan dukungan kalian,” katanya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang masih basah.

Bagi Supriyani, kebebasan ini lebih dari sekadar akhir dari sebuah kasus hukum. Ini adalah pembuktian akan kekuatan kebenaran dan solidaritas. Sementara itu, bagi masyarakat di ruang sidang dan di luar sana, ini adalah pengingat bahwa keadilan tidak selalu harus tunduk pada tekanan atau asumsi.

Hari itu, langit Andoolo tetap biru seperti biasa. Namun, di hati Supriyani dan mereka yang mendukungnya, ada harapan baru yang terbit, seperti matahari yang enggan tenggelam. (*)