HERALD.ID, JAKARTA – Rabu, 27 November 2024. Malam masih muda ketika Wahyu Dinata, Ketua KPU DKI Jakarta, berdiri di depan pelantang dengan ekspresi serius.

Di ruang yang penuh kilatan kamera dan suara perekam, ia mengumumkan angka yang menggambarkan besarnya harga demokrasi: Rp300 miliar. Jumlah itu disiapkan untuk Pilgub Jakarta putaran kedua, jika para kandidat gagal mencapai angka magis 50 persen plus satu suara.

“Ini adalah konsekuensi dari proses demokrasi yang kita jalani,” ucap Wahyu dengan nada tegas namun bijaksana. Anggaran besar itu hanyalah sepotong dari total biaya Rp975 miliar yang dialokasikan untuk pesta demokrasi ibu kota—sebuah pengingat bahwa setiap suara memiliki nilai, baik secara moral maupun finansial.

Di luar gedung, Jakarta bergemuruh dengan percakapan. Nama-nama kandidat berbisik di warung kopi hingga ruang diskusi intelektual: Pramono-Rano Karno, yang saat ini memimpin dengan 49 persen suara, diikuti Ridwan Kamil-Suswono di angka 40 persen, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang mengumpulkan 10 persen. Perbedaan angka ini adalah jurang tipis yang memisahkan kota dari satu putaran tambahan yang akan menentukan arah ibu kota.

Bagi sebagian orang, dua putaran adalah kemewahan demokrasi. Bagi lainnya, itu adalah beban yang harus ditanggung rakyat. “Rp300 miliar itu besar sekali, Mas,” ujar Santi, seorang pedagang kecil di Pasar Senen, sambil merapikan dagangannya. “Mungkin lebih baik anggaran itu dipakai buat renovasi pasar atau bantu pedagang seperti kami. Tapi, ya, demokrasi tetap harus jalan, kan?”

Di sisi lain, para pendukung kandidat bersemangat. Di markas tim sukses, lampu tak pernah padam. Strategi dirumuskan, taktik dipertajam. Kampanye putaran kedua, jika terjadi, dijadwalkan berlangsung dari 2 hingga 22 Februari 2025, memberi waktu cukup bagi setiap pasangan calon untuk memperkuat posisinya. Namun, tanggal itu juga mendekatkan mereka pada hari pencoblosan, 26 Februari 2025—momen krusial yang akan memutuskan masa depan Jakarta.

Di balik anggaran besar dan jadwal ketat, ada kegelisahan. Data dari Bawaslu menunjukkan rendahnya partisipasi pemilih di beberapa wilayah, terutama Jakarta Utara. Ini adalah paradoks di kota yang menjadi pusat politik dan ekonomi, tetapi kerap menyisakan kelompok yang merasa terpinggirkan dari proses demokrasi.

Ketika malam semakin larut, Jakarta tetap sibuk. Dalam keramaian itu, mungkin ada seorang pemilih yang masih bimbang, seorang ibu yang belum tahu bagaimana membagi waktu antara kerja dan mencoblos, atau seorang anak muda yang mencari alasan untuk peduli. Di sisi lain, ada Wahyu Dinata, berdiri sebagai penjaga proses ini, memastikan bahwa setiap suara dihitung, setiap pilihan dihargai.

Rp300 miliar bukan sekadar angka. Itu adalah cermin dari tekad Jakarta untuk memastikan demokrasi tetap hidup—meskipun mahal, meskipun melelahkan. Di tengah gedung-gedung tinggi dan hiruk-pikuk ibu kota, pemilu adalah bukti bahwa suara terkecil sekalipun dapat menentukan arah sebuah kota besar. Dan mungkin, pada akhirnya, itulah harga yang pantas dibayar. (*)