HERALD.ID, PALU – Pagi yang biasa di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, berubah menjadi mimpi buruk pada Rabu, 27 November 2024. Ketika matahari baru saja menyinari jalan-jalan sempit, suara teriakan pecah di sebuah indekos. Di dalam, dua nyawa melayang—seorang ibu berinisial N (53) dan anak perempuannya, NA (14). Pelaku? Pria bernama Muhamad Zakir (50), suami dan ayah korban, yang kini menjadi buronan.
Kisah ini lebih dari sekadar pembunuhan. Itu adalah jejak gelap kekerasan dalam rumah tangga yang akhirnya mencapai klimaks tragis. Polisi yang tiba di tempat kejadian menemukan tubuh NA telah tak bernyawa, sementara N sempat dilarikan ke rumah sakit hanya untuk menyerah pada luka yang terlalu parah. Sebuah besi panjang, yang diduga digunakan pelaku, menjadi saksi bisu kegilaan yang berlangsung di indekos itu.
Riwayat Kelam di Balik Aksi Keji
Zakir bukan orang asing bagi kekerasan. Laporan dari Polresta Palu mengungkapkan ia memiliki riwayat gangguan mental dan pernah dirawat di rumah sakit jiwa pada 2023. Namun, bagi mereka yang mengenalnya, tindakannya yang berulang melakukan kekerasan dalam rumah tangga seolah menjadi isyarat akan tragedi yang menanti.
“Pelaku diduga mengalami gangguan mental,” kata Aiptu I Kadek Aruna. Namun, gangguan mental ini tidak menjelaskan sepenuhnya kekerasan yang terjadi, termasuk tindakannya menyerang imam masjid setempat, Muhamad Nasir, yang kini terbaring di rumah sakit dengan luka di kepala.
Bayang-bayang di Komunitas
Penduduk sekitar masih diliputi rasa tak percaya. Kehidupan di Balaroa terhenti sejenak, diwarnai ketakutan dan kesedihan. Seorang saksi yang hendak ke toilet sempat diserang pelaku tetapi berhasil melarikan diri. Sementara itu, upaya polisi untuk menangkap Zakir terus berlangsung, dengan harapan mengungkap apa yang benar-benar mendorong tragedi ini.
Luka yang Tak Mudah Pulih
Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi komunitas. Indekos yang dulu menjadi tempat berlindung kini menyimpan cerita memilukan, sebuah pengingat akan bahayanya kekerasan yang dibiarkan terus tumbuh tanpa intervensi.
Di balik tragedi ini, ada pertanyaan yang menggantung: apakah tragedi ini dapat dicegah? Jawabannya mungkin tak pernah jelas. Yang pasti, kisah ini adalah seruan bagi kita semua untuk lebih peka terhadap tanda-tanda bahaya di sekitar. Karena terkadang, keheningan adalah awal dari kehancuran. (*)