HERALD.ID, JAKARTA – Jumat malam, 29 November 2024, Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang akrab disapa Gus Ipul, menatap serius kamera dalam sebuah wawancara yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi. Di balik suara lembutnya, tersirat sebuah peringatan yang menggema: uang donasi bukanlah mainan.
“Donasi itu hadir untuk meringankan beban, untuk memberi harapan kepada mereka yang membutuhkan biaya besar, terutama untuk pengobatan,” ujarnya penuh penekanan. Gus Ipul menyoroti kasus yang tengah ramai diperbincangkan, polemik antara Agus Salim dan Pratiwi Noviyanthi. Sebuah kisah yang bermula dari niat baik, namun berakhir dengan saling tuding dan ketidakpercayaan.
Agus Salim dan Pratiwi Noviyanthi, dua nama yang kini menghiasi tajuk berita, menjadi simbol bagaimana niat baik bisa tersesat di tengah jalan. Donasi yang seharusnya menjadi jembatan penyembuh justru berubah menjadi ladang konflik. Pratiwi, yang merasa uang donasi telah disalahgunakan, kini mempertimbangkan jalur hukum. Sementara Agus Salim, yang merasa dituding tanpa dasar, tetap bersikukuh pada pembelaannya.
“Kalau uang donasi digunakan bukan untuk berobat, donatur tentu kecewa. Donatur bisa tempuh jalur hukum,” tegas Gus Ipul. Kalimat itu bagai vonis tak terbantahkan. Dalam suasana yang semakin panas, ia menambahkan bahwa tata kelola donasi harus diperkuat. Harapannya, aturan yang jelas dapat menghindari konflik serupa di masa depan.
Tidak hanya sekadar beretorika, Gus Ipul mengusulkan sebuah pertemuan penuh tabayun – istilah yang berarti klarifikasi dengan hati terbuka. “Saya siap duduk bersama mereka, baik di rumah atau di tempat lain. Ini bukan soal mencari salah atau benar, tapi mencari solusi,” imbuhnya, mencoba meredakan gejolak yang telah mencoreng makna donasi.
Di balik pernyataannya, tersirat pengakuan bahwa pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi aturan donasi. Sebuah kejujuran yang mencerminkan kesadaran akan pentingnya pengawasan dan transparansi dalam mengelola dana publik.
Malam itu, kata-kata Gus Ipul tidak hanya menyoroti konflik dua individu, tetapi juga mengingatkan bangsa ini akan esensi donasi: sebuah wujud solidaritas yang lahir dari empati. Ketika empati ternoda oleh ketidaktahuan dan penyalahgunaan, apakah masih ada ruang untuk kepercayaan?
Polemik ini menjadi pengingat bahwa niat baik saja tidak cukup. Di dunia yang kompleks, di mana moral dan aturan sering bersinggungan, hanya transparansi yang dapat memastikan bahwa donasi tetap menjadi jembatan menuju harapan, bukan jurang menuju perselisihan. (*)