HERALD.ID, JAKARTA – Malam di Cipete Selatan itu terasa tegang. Pramono Anung duduk di sofa ruang tamunya, mengenakan kemeja putih yang kini telah menjadi seragam de facto para kandidat kepala daerah. Di sampingnya, Rano Karno, dengan senyum khas Si Doel, sesekali membisikkan sesuatu ke telinga pasangannya. Ruangan itu dipenuhi oleh tim sukses, wartawan, dan secangkir kopi yang tak lagi hangat.

“Kita menang,” ujar Pramono dengan suara mantap, namun ada getar halus di sana. Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei menunjukkan angka kemenangan pasangan nomor urut 3 ini di atas 50 persen. Namun, di luar sana, gelombang ketidakpastian masih mengalir deras.

Di sisi lain kota, di markas Koalisi Indonesia Maju (KIM), tim Ridwan Kamil dan Agus Harimurti Yudhoyono—dengan tagline mereka yang catchy, RIDO—belum menyerah. “Perjuangan belum selesai. Jakarta ini harus berlanjut ke putaran kedua,” kata Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, dengan nada optimis.

Namun, dalam permainan politik tingkat tinggi seperti ini, suara rakyat hanyalah salah satu bagian dari teka-teki besar. Di balik layar, ada tangan-tangan kekuasaan yang menentukan arah permainan. Hendri Satrio, analis politik sekaligus pendiri lembaga survei KedaiKOPI, memandang hasil ini bukan sekadar angka-angka. “Nasib Jakarta, nasib PDIP, semuanya di tangan Prabowo Subianto,” ucapnya lugas.

Hensat menjelaskan skema yang ada dengan nada seperti seorang detektif yang mengungkap konspirasi besar. Jika PDIP, partai pengusung Pramono-Rano, memilih berada di luar koalisi pemerintah, maka kemenangan ini hanya akan menjadi ilusi. Namun, jika mereka bersedia merapat ke lingkaran kekuasaan Presiden Prabowo, jalannya bisa menjadi lebih mulus. “Kalau Prabowo menginginkan PDIP tetap mendukung pemerintah, maka kemenangan ini akan diberikan. Tapi jika tidak, Jakarta akan masuk putaran kedua,” jelasnya.

Malam itu, suasana Jakarta seperti menahan napas. Para pendukung Pramono-Rano berkumpul di berbagai titik, menyalakan lilin sebagai simbol harapan. Di sisi lain, tim RIDO menggelar doa bersama di markas mereka, memohon agar Jakarta memberi mereka kesempatan kedua.

Sementara itu, di tengah hiruk-pikuk ini, suara KPUD Jakarta terdengar bagai angin sepoi-sepoi yang mencoba menenangkan badai. “Hasil resmi itu baru akan diumumkan pada 16 Desember,” tegas Ketua KPUD Jakarta, Wahyu Dinata. Tapi siapa peduli? Di era politik opini dan narasi ini, hasil resmi sering kali hanya menjadi formalitas belaka.

Panggung politik Jakarta kini menjadi arena yang lebih besar dari sekadar persaingan antar kandidat. Ini adalah pertarungan visi dan aliansi, keputusan yang bukan hanya tentang siapa yang akan memimpin, tetapi juga tentang ke mana arah ibu kota akan berlabuh. Di tengah semuanya, Prabowo Subianto berdiri sebagai tokoh sentral, seperti seorang sutradara yang memiliki kekuatan untuk mengubah alur cerita.

Malam itu, di ruang tamunya, Pramono menatap layar televisi yang menampilkan laporan quick count. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya memancarkan kebimbangan. Rano Karno di sampingnya melontarkan guyonan untuk mencairkan suasana, tetapi tawa itu tak bertahan lama.

Jakarta, seperti biasa, tetap menjadi episentrum politik negeri ini. Di balik lampu-lampu terang kota yang tak pernah tidur, ada drama besar yang tengah berlangsung. Drama tentang kekuasaan, kompromi, dan masa depan. (*)