HERALD.ID – Industri otomotif di Indonesia diprediksi menghadapi tantangan berat pada tahun depan seiring dengan rencana penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2025.

Kebijakan ini, yang mengacu pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), diperkirakan akan menambah tekanan di tengah daya beli masyarakat yang melemah.

Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya ditetapkan sebesar 11% pada 2022 akan naik menjadi 12% pada 2025. Peningkatan ini dimaksudkan untuk mendukung perkembangan ekonomi dan kebutuhan dana pembangunan dengan batas tarif antara 5% hingga 15%.

Namun, lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) memperingatkan bahwa kenaikan tarif PPN tersebut dapat menyusutkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp65,3 triliun akibat tergerusnya konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun.

“PPN 12% mengancam pertumbuhan ekonomi 2025,” tulis Celios dalam laporannya.

Lembaga tersebut juga mencatat dampak paling signifikan akan dirasakan oleh kelas menengah bawah dan generasi muda seperti Gen Z. Sebaliknya, Celios merekomendasikan penurunan tarif PPN menjadi 8%, yang dapat mendorong peningkatan PDB hingga Rp133,65 triliun.

Kenaikan tarif PPN diperkirakan memperparah kondisi pasar otomotif domestik yang saat ini telah mengalami penurunan penjualan. Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, menyebut penjualan domestik tahun ini diperkirakan tidak mencapai 850 ribu unit, dan dengan beban PPN 12%, angka tersebut kemungkinan akan lebih rendah lagi pada 2025.

“Dengan stimulus fiskal, penerimaan pajak justru akan naik karena ekonomi bergerak. Sebaliknya, kenaikan tarif fiskal di tengah situasi sekarang justru berpotensi menekan penerimaan pajak,” ujar Bob.

Ia juga menekankan bahwa penurunan pasar domestik akan berdampak pada daya saing Indonesia sebagai hub produksi otomotif regional, yang berpotensi merugikan investasi jangka panjang.

Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Yohannes Nangoi, menambahkan bahwa selain PPN, penerapan opsen pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) juga menjadi perhatian serius.

Opsen pajak ini memungkinkan pemerintah daerah memungut tambahan pajak atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

“Jika tarif BBNKB yang saat ini berkisar 12,5% naik menjadi 19% atau 20%, dampaknya bisa mencapai Rp12 juta untuk mobil seharga Rp200 juta. Ditambah dengan PPN, beban konsumen akan sangat berat,” jelas Yohannes.

Gaikindo mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut, terutama dalam kondisi ekonomi yang mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat.

Yohannes menegaskan pentingnya menjaga stabilitas pasar otomotif untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri ini.

“Kenaikan tarif fiskal yang terlalu drastis dapat berdampak negatif pada sektor otomotif, baik dari sisi penjualan maupun tenaga kerja. Kami berharap pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan ini dengan kondisi ekonomi saat ini,” pungkas Yohannes. (Ren)