HERALD.ID, JAKARTA–Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD mendapat tanggapan berbeda. Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hadar Nafis Gumay menolak gagasan itu. Sedangkan Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mendukung usulan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Hadar Nafis Gumay menegaskan, mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dinilai merugikan rakyat sebagai pemegang hak konstitusional dalam memilih siapa pemimpinnya. Menurutnya, pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan membuka ruang kembalinya praktik-praktik ‘perkoncoan’ kotor para elite partai politik (parpol) yang sarat korupsi, bahkan pemerasan.
Usulan untuk mengembalikan kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah, bagi dia sebagai langkah politik sapu bersih penguasaan kursi kekuasaan dari tingkat nasional sampai daerah. Karena parpol-parpol yang berhasil memenangkan kontestasi kepemimpinan di tingkat nasional dan menguasai pemerintahan pusat, bakal otomatis turut juga menguasai kursi-kursi DPRD melalui koalisi.
Menurut Hadar, keadaan politik yang seperti itu hanya bakal merugikan masyarakat.“(Pilkada melalui DPRD) tentunya lebih baik bagi pemerintahan yang didukung oleh koalisi besar, yang mengusai DPRD. Namun bagi masyarakat, tentu tidak (menguntungkan) karena akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk bisa memilih pemimpin daerah yang sesuai harapan,” begitu kata Hadar dikutip dari Republika.co.id, Sabtu (14/12/2024).
DItegaskan Hadar, banyak sisi negatif dari pilkada melalui DPRD yang dipraktikkan di masa lalu. Dan catatan minus itu, menjadi pelajaran dalam usaha pembangunan sistem pemilihan langsung kepala daerah yang sejak 2004 hingga saat ini terus dipertahankan.
Di antara catatan minus pemilihan kepala daerah melalui DPRD itu, sarat akan praktik-praktik korupsi. Karena kata Hadar, dengan pilkada melalui DPRD yang pernah dipraktikkan di masa lalu, mengundang konsekuensi adanya laporan pertanggungjawaban kepala daerah terpilih ke DPRD sebagai lembaga yang memilih. Dan dari laporan pertanggungjawaban tersebut, mengundang transaksional.
“Pemilihan kepala daerah lewat DPRD mengakibatkan kepala daerah terpilih harus bertanggung jawab kepada DPRD yang akhirnya setiap tahun harus memberikan pertanggungjawabannya. Dan itu sering menjadi arena pemerasan,” kata Hadar.
Yang paling penting, sisi negatif dari pemilihan kepala daerah melalui mekanisme pemilihan di DPRD adalah soal terputusnya peran masyarakat sebagai pemilik kedaulatan suara dalam menentukan kepemimpinan. Karena dikatakan dia, otomatis rakyat sebagai pemegang hak suara dalam kepemiliuan akan kehilangan perannya sebagai penentu kepemimpinan.
“Tidak jarang terjadi pilihan DPRD tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Di mana masyarakat tidak punya lagi ruang untuk menyatakan pilihannya melalui surat suara,” begitu kata Hadar.
Dan jika kondisi tersebut terjadi, akan memunculkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan yang bukan berasal dari suara rakyat sendiri. “Dan dalam situasi ketidakpuasan yang tinggi, dapat berpotensi terjadinya ketidakpercayaan besar dari masyarakat yang dapat berujung pada ketidakstabilan pemerintahan di daerah,” ujar Hadar.
Sementara Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa pilkada melalui mekanisme pemilihan di lembaga perwakilan rakyat tersebut tak melanggar prinsip negara demokrasi.
Menurut Jimly, wacana pilkada melalui DPRD tersebut sebagai evaluasi dalam tata ulang sistem pilkada selama ini. “Soal tata ulang sistem pilkada, saya dukung pernyataan Presiden (Prabowo) agar kepala daerah dipilih saja oleh DPRD,” kata Jimly seperti dikutip dari akun media sosialnya, Sabtu (14/12/2024).
Jimly menerangkan, tak ada masalah konstitusionalitas dalam pilkada melalui DPRD, atau yang selama ini disebut pemilihan tak langsung. Pun pilkada yang dilakukan dengan cara tak langsung tersebut, juga tak melanggar prinsip bernegara demokrasi.
DIjelaskan Jimly, pilkada langsung yang menjadikan rakyat sebagai pemilik suara, maupun pilkada yang tak langsung melalui DPRD, tetap konstitusional dan tetap demokratis. “Dalam UUD 1945, yang penting kepala daerah dipilih secara demokratis, bisa langsung, tetapi juga tidak langsung oleh rakyat,” ujar Jimly. (ilo)