HERALD.ID, JAKARTA — Gus Baha, menekankan pentingnya menjaga perilaku dan ucapan antar sesama Muslim.

Menurutnya, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk saling menghina atau mengkritik tanpa dasar yang jelas.

Pesan ini juga diambil dari sebuah hadis yang menceritakan tentang seorang pemuda yang dianggap cuek saat melewati kelompok yang sedang belajar.

“Nabi Muhammad SAW, dalam hadis tersebut, menegur sahabat yang mengkritik pemuda itu, dengan menyatakan bahwa pemuda itu mungkin saja memiliki alasan yang baik,” jelas Gus Baha.

Gus Baha menegaskan bahwa kritik antar sesama Muslim harus diminimalkan, dan setiap individu memiliki hak untuk menjalankan ibadah dengan cara yang sesuai dengan keadaan mereka.

Hal ini mengingat bahwa setiap orang memiliki situasi yang berbeda, seperti pekerjaan atau tanggung jawab keluarga, yang mungkin menghalangi mereka untuk selalu hadir dalam pengajian atau salat berjamaah.

“Jangan terburu-buru mengkritik orang lain. Islam mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam berbicara, terutama mengenai ibadah. Setiap orang berhak menjalankan ibadah sesuai dengan kondisinya,” kata Gus Baha.

Gus Baha juga mengingatkan umat untuk senantiasa menjaga niat yang tulus dalam setiap amal ibadah.

Dalam konteks ibadah salat, misalnya, ia menjelaskan bahwa salat bukan sekadar memenuhi kewajiban formal, melainkan sebuah bentuk pengabdian kepada Allah dengan penuh keikhlasan.

“Jangan sampai kita beribadah hanya karena dilihat orang lain. Yang terpenting adalah keikhlasan hati,” lanjutnya.

Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa tidak semua orang bisa hadir dalam salat berjamaah atau pengajian.

Oleh karena itu, umat Islam perlu menghargai mereka yang tidak bisa hadir karena alasan tertentu, seperti pekerjaan yang menuntut mereka untuk mencari nafkah demi keluarga.

Dalam hal ini, peran ulama sangat penting untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang kewajiban salat dan kehadiran dalam jamaah.

Lebih jauh, Gus Baha menyoroti pentingnya saling menghargai perbedaan dalam beribadah.

Ia mengingatkan bahwa ulama seharusnya tidak menarik kesimpulan yang dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Islam, menurut Gus Baha, memberikan ruang bagi setiap individu untuk menjalankan ibadah sesuai dengan kemampuannya, tanpa harus ada penilaian negatif dari sesama Muslim.

Gus Baha juga mengajak umat untuk lebih mindful dalam berbicara dan bersikap terhadap sesama Muslim.

Ia menekankan bahwa perpecahan hanya akan merugikan umat Islam, dan untuk itu, persatuan dalam menjalankan ajaran agama sangatlah penting.

Salah satu kisah yang disampaikan Gus Baha berkaitan dengan bagaimana Nabi Muhammad SAW memperhatikan kebutuhan umatnya.

“Dalam sebuah hadis, diceritakan bahwa Nabi Muhammad masuk ke dalam Ka’bah setelah menguasainya dari tangan musyrik. Meskipun saat itu beliau merasa senang, ekspresi beliau berubah menjadi sedih setelah keluar,” katanya.

“Rasulullah merasa khawatir jika salat yang beliau lakukan di dalam Ka’bah akan dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus diikuti oleh umatnya, padahal itu bukanlah hal yang diperintahkan,” lanjutnya.

Kisah ini, menurut Gus Baha, menunjukkan betapa Nabi sangat berhati-hati agar umat tidak salah memahami ajaran agama.

“Nabi tidak ingin ada kewajiban baru yang memberatkan umatnya. Beliau sangat memahami pentingnya kebijaksanaan dalam beribadah,” ujar Gus Baha.

Gus Baha juga menyentuh realitas sosial yang ada, seperti perbedaan kesejahteraan antara imam masjid di Indonesia dan Malaysia.

Di Malaysia, imam sering kali mendapat penghasilan yang layak, sementara di Indonesia banyak imam yang harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Hal ini, menurut Gus Baha, mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak orang dalam menjalankan ibadah secara penuh.

“Oleh karena itu, umat Islam perlu memahami bahwa tidak semua orang bisa melaksanakan ibadah dengan cara yang sama,” katanya.

“Ada banyak faktor yang memengaruhi, seperti kondisi ekonomi dan tanggung jawab hidup,” jelas Gus Baha. Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati, bukan untuk saling menghina,” pungkasnya. (*)