HERALD.ID, JAKARTA – Sejuk angin Senayan seolah membeku di ruang rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen Jakarta. Dalam suasana tegang, Irjen Djoko Poerwanto, Kapolda Kalimantan Tengah, berdiri dengan wajah penuh beban. “Atas nama institusi, saya memohon maaf kepada keluarga korban dan masyarakat luas,” suaranya bergetar, menyampaikan permintaan maaf yang melintasi batas formalitas.

Kata-katanya meresap, seperti desah angin di sela pohon-pohon Katingan, tempat jasad seorang sopir ekspedisi ditemukan kaku di kebun sawit. Penemuan tubuh itu adalah awal dari terbukanya kisah kelam: pelaku utama pembunuhan adalah Brigadir AKS, seorang polisi dari Polresta Palangka Raya.

Brigadir AKS kini menyandang status tersangka dengan ancaman hukuman mati. Bersama seorang pria berinisial H, ia diduga terlibat dalam kejahatan yang mengguncang institusi yang seharusnya melindungi, bukan mengancam. “Kami melakukan penyelidikan dengan metode scientific crime investigation,” ujar Kombes Nuredy Irwansyah Putra, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalteng. Penelusuran bukti dan kesaksian dari 13 orang mengarahkan sorotan tajam pada Brigadir AKS.

Namun, bukan hanya hukum pidana yang memburunya. Sidang kode etik profesi pun tak memberi celah. “Yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat,” tegas Kombes Nugroho, Kabid Propam Polda Kalteng, menutup karir yang tercoreng noda hitam tak terhapuskan.

Permohonan maaf dari Kapolda Kalteng adalah langkah berat, namun luka telah menganga di hati keluarga korban dan masyarakat. Kejahatan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap sumpah profesi.

Kasus ini mengingatkan bahwa keadilan bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal memulihkan kepercayaan yang terluka. Di bawah bayang-bayang tragedi ini, sinar harapan masih dinanti—seperti fajar yang terbit perlahan di atas hamparan kebun sawit yang pernah menjadi saksi bisu sebuah dosa tak termaafkan. (*)