HERALD.ID, JAKARTA – Di lokasi pengungsian korban kebakaran Kemayoran, tawa mengalir begitu saja di tengah percakapan santai para warga. Namun, tak lama kemudian, suasana berubah menjadi tegang ketika seorang aparat datang mendekat.
Tepat di depan kerumunan, seorang warga yang dengan ceria memanggil Gibran dengan sebutan yang tiba-tiba mengundang perhatian: “Fufufafa!” Tentu saja, bukan hanya warga sekitar yang tersenyum mendengar panggilan tersebut, tetapi juga dunia maya yang sedang dibanjiri reaksi serupa. Namun, reaksi aparat kali ini berbeda.
Dengan wajah serius, aparat itu memberikan teguran yang cukup tegas. Warga yang sedang bercanda menjadi terdiam. Sebutan “Fufufafa” yang sebelumnya menggelitik hati banyak orang kini menjadi bahan perdebatan. Sebagian merasa bahwa tidak ada salahnya, hanya sebuah lelucon, tetapi aparat itu memandangnya berbeda. Dalam pandangan mereka, ada batasan antara humor dan ketidakpatutan yang harus dijaga.
Di Twitter, beragam komentar pun muncul. Ada yang berpendapat bahwa teguran itu menunjukkan betapa wibawa kini terasa semakin rapuh, seiring dengan populernya sebutan “Fufufafa” yang bahkan sudah menjadi meme di kalangan netizen. “Biasanya yang menegur itu naik jabatan,” canda akun @RadenNingrat99, mengingatkan pada dinamika birokrasi yang sering kali dipenuhi hierarki yang aneh.
Namun, di balik lelucon tersebut, ada juga suara-suara yang lebih serius. Seperti @Nuraniakalsehat yang merumuskan “Tiga Misteri Bangsa ini” yang belum terpecahkan: dari hilangnya komandan PETA, hingga pertanyaan tak terjawab tentang “Fufufafa” yang mungkin hanya ada di dunia maya. Lalu ada yang menyarankan, “Harusnya memanggilnya para-para Fufufafa,” yang menambah canda tawa di tengah percakapan ini.
Namun, di balik semua komentar tersebut, ada yang merasa bahwa masyarakat sudah muak dijadikan objek pencitraan, sementara nasib mereka tetap terabaikan. “Rakyat sudah muak dijadikan objek pencitraan, sementara nasib mereka tetap dibiarkan nelongso,” ungkap @Abu_shahib16, sebuah sindiran pedas yang seakan menyuarakan ketidakpuasan yang lebih dalam.
Dan meskipun teguran aparat itu mengundang gelak tawa, banyak yang menyadari bahwa di balik setiap fenomena ini, ada lapisan yang lebih kompleks: bagaimana humor dan politik sering kali bercampur aduk, dan bagaimana sebutan “Fufufafa” itu bisa jadi cermin dari perasaan yang lebih besar—rasa frustasi terhadap ketidakpastian dan ketidakadilan yang ada di tengah masyarakat. (*)