HERALD.ID, MAKASSAR – Samata larut dalam sunyi. Malam itu, dalam temaram lampu yang menerangi gedung Perpustakaan UIN Alauddin, mesin pencetak raksasa sedang bergemuruh. Bukan mencetak buku atau karya sastra, melainkan uang palsu—cetak biru dari ambisi manusia yang tak pernah puas.

ASS, seorang pengusaha ambisius, pernah merasakan mimpi untuk duduk di kursi panas Wali Kota Makassar. Namun, dunia politik tak pernah menjadi tempat yang ramah bagi para pendamba kekuasaan tanpa dukungan yang cukup. Kekalahan itu tak membuatnya berhenti—sebaliknya, ia merancang strategi yang jauh lebih gelap.

Melalui jaringan yang rapi, ASS menggandeng SAR, ahli mesin cetak yang mahir dalam memanipulasi dunia nyata lewat gulungan kertas bercetak rupiah. Di rumahnya di Jalan Sunu, Makassar, mesin pertama berdengung. Namun, permintaan yang terus melonjak membuat satu mesin kecil tak lagi cukup.

Ketika uang palsu menjadi bahasa transaksi, kampus yang seharusnya menjadi benteng ilmu pun tak luput dari godaan. Di sanalah AI, seorang dosen sekaligus Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, menyerah pada janji kekayaan dan kuasa. Ambisi politik untuk maju pada Pilkada Barru pun menguatkan hati AI untuk menerima tawaran kotor ASS dan SAR.

Ia pun membuka pintu gedung perpustakaan lebar-lebar, membiarkan mesin cetak seharga Rp600 juta yang didatangkan dari China mengisi ruang yang seharusnya penuh buku.

Malam-malam di kampus menjadi saksi bisu bagaimana ambisi pribadi menggerus nilai-nilai akademik. Mesin itu menderu seperti jantung yang gelisah, mencetak lembar demi lembar rupiah palsu yang akan disebar demi mengejar mimpi politik yang terputus.

Namun, dunia memiliki cara untuk menagih setiap utang moral. Operasi polisi yang dirancang dengan cermat oleh Kapolres Gowa, AKBP Reonald Simanjuntak dan anggotanya, akhirnya mengakhiri permainan kotor itu. Penangkapan para pelaku membongkar skema yang melibatkan tidak hanya pengusaha dan pejabat kampus, tetapi juga mimpi-mimpi politik yang gagal.

Kini, mesin itu tak lagi bergemuruh. Hanya sunyi yang tersisa di ruang perpustakaan yang ternoda, seperti nisan tak bernama yang menyimpan rahasia kelam. Uang palsu bernilai miliaran telah menjadi bukti kejahatan, namun nilai kemanusiaan yang terkikis tak dapat digantikan.

Di dunia yang terperangkap antara idealisme dan realitas, kisah ini adalah pengingat bahwa dalam ambisi yang tak terkendali, nilai dan moral bisa menjadi korban pertama yang terbuang—seperti lembaran uang palsu yang berserakan di lantai gedung perpustakaan itu. (*)