HERALD.ID, JAKARTA — KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab dikenal sebagai Gus Baha, mengurai pentingnya pasrah kepada Allah sebagai puncak tertinggi perjalanan spiritual manusia.

Menurut Gus Baha, inti dari ajaran Islam adalah kepasrahan total kepada Allah.

“Manusia mencapai spiritual tertinggi ketika mampu menyerahkan segalanya kepada Allah tanpa syarat,” jelas Gus Baha dilansir dari Youtube Gus Baha Fans, Jumat 27 Desember 2024.

Ia menjelaskan bahwa pasrah tidak berarti menyerah begitu saja, melainkan bentuk kesadaran tertinggi seorang hamba akan kebesaran Tuhan.

Gus Baha juga menekankan bahwa sikap pasrah ini harus dilandasi oleh ilmu yang benar.

“Orang yang tidur, tidak berbuat dosa, sudah ibadah, karena meninggalkan maksiat. Tapi, yang terjaga dan menahan diri dari godaan, itu jauh lebih utama,” katanya, merujuk pada sebuah riwayat yang sering ia jadikan acuan.

Ceramah Gus Baha selalu sarat dengan referensi kitab klasik dan hadits, yang ia rangkai dengan cerita-cerita ringan namun sarat hikmah. Salah satunya adalah kisah Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Khadijah.

Ketika Aisyah merasa cemburu karena Rasulullah kerap mengenang Khadijah, Rasulullah dengan bijaksana menjawab, “Khadijah menerima aku saat aku belum punya apa-apa.”

Gus Baha juga mengajak jamaah untuk meneladani para ulama terdahulu yang menjadikan ilmu sebagai jalan hidup.

“Ilmu itu permanen. Kalau Anda terkenal sebagai wali, yang untung Anda. Tapi kalau terkenal sebagai ulama, yang untung Islam,” ujarnya.

Ia mengutip pendapat Imam Ghazali yang menyatakan bahwa ulama adalah pilar peradaban Islam.

Gus Baha mengingatkan pentingnya bersikap tawadhu atau rendah hati dalam menjalani kehidupan. Ia menyebut, seorang wali yang paling sederhana sekalipun memiliki tempat istimewa di sisi Allah.

Dengan nada bercanda, ia berkata, “Kalau kamu ingin maksiat tapi akhirnya tidak jadi, itu sudah mendapat pahala.”

Dalam ceramahnya, Gus Baha menekankan Islam sebagai agama yang membawa kemudahan dan kedamaian.

Ia menjelaskan bagaimana Wali Songo mengadaptasi tradisi lokal tanpa menghilangkan esensi Islam.

“Islam itu tidak merubah budaya secara ekstrem, tapi dikemas dengan kearifan,” ujar Gus Baha, mencontohkan tradisi tahlilan yang menjadi ciri khas umat Islam di Nusantara. (*)