HERALD.ID – Di sebuah sudut sunyi Grumbul Sidayasa, malam itu dipecah oleh tragedi. Langit Banyumas yang gelap menjadi saksi bisu sebuah kisah memilukan—kisah cinta yang dirundung cemburu dan berakhir dengan darah.

Andry (35), seorang pria dengan kursi roda sebagai kakinya, mengayunkan sebuah kunci inggris di bawah remang lampu rumahnya. Korban dari amukan itu adalah istrinya sendiri, Jumirah (33), yang tubuhnya ditemukan terkulai tak bernyawa. Di sana, di lantai dingin rumah sederhana mereka, lendir dan darah menjadi tanda akhir dari perjalanan hidup seorang istri.

Kisah yang Dulu Harmonis

Mereka pernah saling mencintai, kata tetangga. Sebelum nasib buruk menimpa, Andry adalah seorang penjual bubur ayam keliling. Dengan kaki yang kuat, ia menyusuri jalan-jalan kecil membawa rejeki bagi keluarganya. Kehidupan mereka sederhana namun cukup harmonis. Namun, sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merenggut kebebasan Andry. Terjatuh dari pohon mahoni membuatnya kehilangan fungsi kakinya, memaksa roda menjadi pengganti langkahnya.

Seiring waktu, bayangan keharmonisan itu pudar. Rumah mereka, yang dulunya tempat berlindung, berubah menjadi arena pertengkaran. Isu perselingkuhan menjadi duri yang terus menusuk. Tetangga, seperti Siran (52), sering menjadi saksi bisu dari pertengkaran mereka. “Saya sudah beberapa kali mencoba mendamaikan mereka,” ujarnya, mengingatkan betapa rumitnya hati manusia ketika dihantui rasa cemburu.

Detik-Detik Mencekam

Malam itu, pukul 19.00 WIB, sunyi menyelimuti Desa Kedungrandu. Tak ada yang mendengar teriakan atau keributan. Hanya kesunyian yang akhirnya dipecahkan oleh sirine polisi satu jam kemudian. Warga baru tersadar setelah Andry, dengan tenang, memesan ojek daring untuk menyerahkan diri ke Polsek.

Ketika polisi tiba, tubuh Jumirah sudah kaku. “Dipukul dengan kunci inggris,” kata Siran. Kunci itu menjadi senjata, bukan alat, dalam keputusasaan Andry yang membara.

Jejak Kehidupan yang Berlanjut

Ada satu hal yang diselamatkan dari tragedi ini: seorang anak berusia delapan tahun. Anak mereka, yang masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, tidak berada di rumah saat kejadian. Dia diungsikan bersama neneknya, jauh dari kengerian malam itu.

Kini, rumah itu tak lagi menjadi tempat tinggal. Ia berdiri sebagai monumen bisu dari konflik batin dan tragedi. Sementara itu, Andry menghadapi hari-hari mendatang di balik jeruji, dengan roda kursi yang tak lagi membawanya ke jalanan desa.

Pelajaran dari Sebuah Tragedi

Kisah ini lebih dari sekadar berita. Ia adalah pengingat akan betapa rapuhnya jiwa manusia ketika dihimpit keterbatasan dan emosi. Di bawah bayang-bayang roda kehidupannya, Andry kehilangan kendali atas hati dan pikirannya.

Grumbul Sidayasa tak lagi sunyi, tapi berbisik. Ia menyimpan cerita tentang cinta yang berubah menjadi dendam, tentang keputusasaan yang membelenggu, dan tentang kehidupan yang tak lagi sama. Dalam bisikan itu, ada pelajaran yang bisa kita dengar—jika kita mau. (*)