HERALD.ID – Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 memicu kontroversi besar. Kebijakan ini tidak hanya dipandang sebagai langkah yang kontroversial, tetapi juga berisiko mengancam stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Wahyudi Askar, pendiri Celios, memberikan peringatan keras tentang potensi dampak buruk yang akan timbul jika kebijakan ini diterapkan. Dalam kesempatan podcast bersama Akbar Faizal, Wahyudi mengungkapkan pesan terakhir dari almarhum Faisal Basri, seorang ekonom senior yang sudah memperingatkan tentang kebijakan tersebut enam bulan sebelum meninggal dunia.
“Almarhum Pak Faisal Basri sudah mengingatkan ini enam bulan lalu sebelum beliau meninggal,” ujar Wahyudi, yang mengungkapkan kekhawatirannya tentang dampak jangka panjang kebijakan PPN 12 persen.
Menurut perhitungan Wahyudi, meskipun penerapan PPN 12 persen di 2025 dapat menghasilkan sekitar Rp50 triliun untuk negara, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar. Berdasarkan analisis Celios, surplus usaha yang hilang diperkirakan mencapai Rp41 triliun.
“Pertumbuhan ekonomi hanya akan stagnan di angka 4,09 persen. Pengangguran diperkirakan bertambah sekitar 554 ribu orang,” tambahnya. Dampak ini, kata Wahyudi, sudah dihitung secara rinci, baik dari segi ekonomi makro maupun mikro.
Selain itu, Wahyudi menyoroti bahwa dari tiga komponen pajak—konsumsi, penghasilan, dan capital income—pajak konsumsi merupakan yang paling regresif. Ini berarti kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah mereka yang berada di kalangan menengah ke bawah.
Sebelumnya, kebijakan PPN 12 persen yang akan mulai berlaku pada 2025 mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Banyak yang menilai kebijakan ini akan semakin menyulitkan ekonomi masyarakat, terutama kalangan bawah.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic Palit, menyatakan bahwa penentuan tarif PPN—apakah naik atau turun—seharusnya bergantung pada kondisi perekonomian nasional. “Pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN, baik itu naik atau turun,” ujarnya.
Namun, kebijakan ini semakin memanas dengan adanya penolakan dari PDIP, yang sebelumnya mendukung aturan tersebut. Bahkan, partai Gerindra turut menyindir PDIP, yang kini menolak kenaikan PPN 12 persen, padahal mereka adalah salah satu inisiator kebijakan tersebut.
Seiring dengan pro dan kontra yang berkembang, nasib kebijakan PPN 12 persen akan sangat bergantung pada dinamika politik dan ekonomi yang terjadi dalam beberapa bulan ke depan. (*)