HERALD.ID, YOGYAKARTA – Langit Yogyakarta berawan ketika langkah-langkah mahasiswa mulai terdengar menggema dari Tempat Khusus Parkir (TKP) Abu Bakar Ali di Suryatmajan. Di tengah hiruk-pikuk kawasan Malioboro, massa Aliansi Jogja Memanggil bergerak menuju Kantor Kepresidenan, membawa satu seruan: “Batalkan PPN 12 Persen, Laksanakan PPN 5 Persen!”

Pukul 12.00 siang, suara mereka mulai memenuhi udara. Spanduk dan poster bertebaran, menuntut perubahan kebijakan yang mereka anggap menindas rakyat kecil. “PPN 12 persen bukan solusi, ini bentuk penindasan!” teriak seorang orator dari atas mobil komando.

Di antara ribuan massa, Surastri, juru bicara aliansi, berbicara dengan tegas. “Kenaikan PPN ini tidak berkeadilan. Pemerintah harus berpihak kepada rakyat menengah ke bawah. Presiden punya peluang menggunakan Perppu untuk menetapkan PPN hanya 5 persen. Itu lebih manusiawi,” ujarnya.

Ia melanjutkan dengan nada penuh keprihatinan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa daya beli masyarakat telah menurun sejak Mei hingga September 2024. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga telah mendorong angka pengangguran ke tingkat yang mengkhawatirkan. “Realitas ini seharusnya menjadi alasan kuat untuk menurunkan beban pajak, bukan sebaliknya,” kata Surastri.


Di sisi lain, Niazi, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, berdiri dengan raut muka penuh beban. “PPN ini bukan cuma soal kenaikan harga barang. Ini soal kenaikan biaya hidup, yang langsung menghantam mahasiswa seperti kami,” katanya.

Ia menyebutkan bagaimana bahkan kebutuhan sederhana seperti makan di kafe atau membeli jajanan dari UMKM akan semakin mahal. “Bayangkan mahasiswa yang hidup pas-pasan. Dengan PPN ini, ruang gerak kami semakin sempit,” lanjutnya.

Niazi juga menyentuh dampak kebijakan ini pada dunia pendidikan. “Orang tua kami diperas lewat PPN dan PPH untuk membiayai program-program pemerintah seperti makan siang gratis. Tapi, apa gunanya jika mereka semakin sengsara?” ucapnya dengan nada getir.

Biaya hidup mahasiswa di Yogyakarta, menurutnya, sudah mendekati UMR daerah, yang berada di kisaran Rp2 juta per bulan. Angka ini bahkan belum termasuk biaya pendidikan yang terus meningkat. “Gaji kecil, biaya hidup tinggi, dan kini PPN dinaikkan. Ini formula sempurna untuk menciptakan generasi yang semakin tertekan,” ujarnya.


Sementara itu, suara-suara dari barisan demonstran lain menyuarakan ide alternatif: memajaki orang kaya. “Tax the rich! Jangan terus-menerus menekan rakyat kecil!” seru seorang mahasiswa dari atas mimbar.

Namun, pemerintah tetap bertahan pada dalih bahwa kebijakan ini hanya akan berdampak pada komoditas premium. Bagi para mahasiswa, argumen itu tidak cukup. “Kami tahu, pada akhirnya, dampaknya akan dirasakan semua lapisan masyarakat. Yang kecil makin menderita,” tegas Surastri.

Demonstrasi hari ini menjadi pengingat bahwa suara rakyat, terutama kaum muda, tidak boleh diabaikan. Di tengah teriakan dan langkah yang memenuhi Malioboro, satu pesan menjadi jelas: “Kami tidak diam, kami akan terus melawan.”

Langit Yogyakarta mungkin masih berawan, tetapi jeritan mahasiswa ini mencoba menembus tebalnya kabut kebijakan yang mereka rasa tak adil. “Kalau tidak bisa membantu kami, setidaknya jangan membuat hidup kami semakin sulit,” pinta mereka. (*)

Penulis: Olivia Rianjani