HERALD.ID, BANTEN – Malam itu, di bawah langit Banten yang tampak muram, Ilyas Abdurahman melangkah dengan tekad kuat. Sebagai seorang bos rental mobil, ia hanya ingin menuntut haknya—sebuah kendaraan yang tak kunjung dikembalikan. Tapi, takdir punya rencana lain. Jalan panjang yang ia tempuh bersama dua anaknya berakhir bukan di tempat penyelesaian, melainkan di tengah derasnya lalu lintas Tol Tangerang, dengan suara tembakan yang memutus hidupnya di usia 48 tahun.

Ilyas tak pernah tahu, langkahnya malam itu adalah perjalanan terakhir. Ia tak menduga, yang ia temui bukan sekadar penyewa yang lalai, melainkan sosok yang menyimpan niat gelap—pelaku yang berpura-pura menjadi aparat, membawa senjata, dan tak segan menembak di jalan raya yang menjadi saksi akhir hidupnya.


“Siapa Kau? Saya Anggota TNI AU!”

Di sebuah tempat yang tak disangka, di Saketi, Pandeglang, GPS menunjukkan keberadaan mobil milik Ilyas. Namun, alih-alih menemukan sosok penyewa berinisial AS, mereka justru mendapati orang lain yang kini menguasai mobil tersebut.

Rizky Agam, anak Ilyas, yang turut serta dalam perjalanan itu, mengenang pertemuan yang mencekam. Di hadapan mereka berdiri seorang pria yang dengan lantang memperkenalkan diri. “Siapa lo? Saya anggota TNI AU!” ancam pria itu sambil mengacungkan senjata api ke arah Ilyas dan anak-anaknya.

Detik itu juga, ketegangan membakar udara. Ilyas dan Rizky tahu bahwa mereka tak berdaya. Dalam diam, mereka menahan diri, berharap ancaman itu berakhir tanpa kekerasan. Namun, harapan itu pupus. Sosok dengan senjata di tangannya bukan sekadar mengancam, ia siap memuntahkan peluru.


“Peluru yang Mengakhiri Segalanya”

Ketegangan memuncak saat mobil yang diperebutkan itu mulai digerakkan. Pelaku, yang tak lain adalah pria bersenjata, melarikan diri dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Ilyas dan anak-anaknya dalam kebingungan.

Namun, Ilyas tak menyerah. Ia memacu kendaraannya, mengejar mobil yang menjadi haknya. Tapi di Tol Tangerang, pengejaran itu mencapai titik akhir. Di tengah jalan yang padat, suara tembakan memecah malam. Peluru menembus tubuh Ilyas, merenggut nyawa seorang ayah yang hanya ingin mengambil kembali apa yang menjadi miliknya.

Darah membasahi aspal. Di dalam kendaraan, dua anaknya terdiam, terpaku pada tubuh ayah mereka yang kini tak lagi bernyawa. Rizky yang menjadi saksi mata kejadian itu hanya mampu terisak, menyadari bahwa peluru telah menutup lembar hidup ayahnya—selamanya.


“Pelaku Berwajah Dua”

Pelaku penembakan ini akhirnya terungkap. Sosok yang sebelumnya mengaku sebagai anggota TNI AU ternyata tak lain adalah penipu berdarah dingin. Ia memanfaatkan embel-embel aparat untuk menakut-nakuti korbannya. Senjata di tangannya bukan sekadar alat ancaman, tetapi alat pembunuh.

Kasus ini membuat publik terhenyak. Bagaimana mungkin seseorang dengan begitu mudahnya berpura-pura sebagai aparat, membawa senjata, dan menembak seorang warga sipil di jalan raya yang sibuk? Kejadian ini menjadi cermin betapa gelapnya sisi lain dari jalan yang kita lalui setiap hari.


“Sebuah Hak yang Dibayar dengan Nyawa”

Ilyas Abdurahman hanya ingin menegakkan haknya sebagai pemilik mobil yang direntalkan. Namun, jalan menuju keadilan itu justru membawanya ke ujung yang tragis. Selembar perjanjian sewa berubah menjadi tragedi berdarah yang menghantui keluarga yang ditinggalkannya.

Kasus ini menyisakan luka mendalam, bukan hanya bagi keluarga Ilyas tetapi juga bagi masyarakat luas. Di balik tiap perjalanan, di balik tiap jalan tol yang kita lewati, tersimpan kisah tak terduga—kisah tentang seorang ayah yang tak pulang, seorang pelaku yang berwajah dua, dan sebuah peluru yang mengakhiri segalanya.

Kini, nama Ilyas Abdurahman tak lagi disebut sebagai bos rental mobil. Ia dikenang sebagai korban yang gugur karena menuntut haknya. Sebuah nama yang diingat dalam duka dan keadilan yang belum tuntas ditegakkan.

Di tengah sorot lampu jalan yang tak pernah padam, malam terus bergulir. Tapi kenangan tentang peluru yang bersarang di tubuh seorang ayah akan terus menghantui jalan raya itu—mengingatkan kita bahwa keadilan kadang datang terlambat, dan nyawa yang hilang tak akan pernah kembali. (*)